BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN
Bagian
Kesatu
Umum
Ø Pasal
13
1)
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan
formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
2)
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan atau
melalui jarak jauh.
Ø Pasal
14
Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Ø Pasal
15
Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus.
Ø Pasal
16
Jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian
Kedua
Pendidikan
Dasar
Ø Pasal
17
1)
Pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
2)
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar
(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat.
3)
Ketentuan mengenai pendidikan dasar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pendidikan
Menengah
Ø Pasal
18
1)
Pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar.
2)
Pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
3)
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
4)
Ketentuan mengenai pendidikan menengah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Pendidikan
Tinggi
Ø Pasal
19
1)
Pendidikan tinggi merupakan jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi.
2)
Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan
sistem terbuka.
Ø Pasal
20
1)
Perguruan tinggi dapat berbentuk
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
2)
Perguruan tinggi berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
3)
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan
program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
4)
Ketentuan mengenai perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Ø Pasal
21
1)
Perguruan tinggi yang memenuhi
persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan
tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan
program pendidikan yang diselenggarakannya.
2)
Perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar
akademik, profesi, atau vokasi.
3)
Gelar akademik, profesi, atau vokasi
hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
4)
Penggunaan gelar akademik, profesi, atau
vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan
yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
5)
Penyelenggara pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
penutupan penyelenggaraan pendidikan.
6)
Gelar akademik, profesi, atau vokasi
yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan
yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan
tidak sah.
7)
Ketentuan mengenai gelar akademik,
profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Ø Pasal
22
Universitas,
institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan
gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang
layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau
seni.
Ø Pasal
23
1)
Pada universitas, institut, dan sekolah
tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2)
Sebutan guru besar atau profesor hanya
dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di
perguruan tinggi.
Ø Pasal
24
1)
Dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
2)
Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi,
penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
3)
Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber
dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip
akuntabilitas publik.
4)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ø Pasal
25
1)
Perguruan tinggi menetapkan persyaratan
kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
2)
Lulusan perguruan tinggi yang karya
ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi
terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
3)
Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan
dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian
Kelima Pendidikan Nonformal
Ø Pasal
26
1)
Pendidikan nonformal diselenggarakan
bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat.
2)
Pendidikan nonformal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional.
3)
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan
pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
4)
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
5)
Kursus dan pelatihan diselenggarakan
bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan
hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja,
usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
6)
Hasil pendidikan nonformal dapat
dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
7)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Keenam
Pendidikan
Informal
Ø Pasal
27
1)
Kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri.
2)
Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah
peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3)
Ketentuan mengenai pengakuan hasil
pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketujuh
Pendidikan
Anak Usia Dini
Ø Pasal
28
1)
Pendidikan anak usia dini
diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2)
Pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau
bentuk lain yang sederajat.
4)
Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak
(TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5)
Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan.
6)
Ketentuan mengenai pendidikan anak usia
dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Pendidikan
Kedinasan
Ø Pasal
29
1)
Pendidikan kedinasan merupakan
pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga
2)
pemerintah nondepartemen.
3)
Pendidikan kedinasan berfungsi
meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi
pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen.
4)
Pendidikan kedinasan diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
5)
Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesembilan
Pendidikan
Keagamaan
Ø Pasal
30
1)
Pendidikan keagamaan diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2)
Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3)
Pendidikan keagamaan dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
4)
Pendidikan keagamaan berbentuk
pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis.
5)
Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Pendidikan
Jarak Jauh
Ø Pasal
31
1)
Pendidikan jarak jauh dapat
diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2)
Pendidikan jarak jauh berfungsi
memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
3)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan
dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan
belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
4)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesebelas
Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Ø Pasal
32
1)
Pendidikan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
2)
Pendidikan layanan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
3)
Ketentuan mengenai pelaksanaan
pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar