Senin, 23 Juli 2012
Proyek PIM yang Menghebohkan
Rencana membangun gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM) ternyata menggegerkan. Proses pembangunannya dianggap merusak tatanan, karena dibangun persis di atas situs bersejarah, dan sekaligus merusaknya. Maka berbagai pihak saling lempar kesalahan, saling tuding. Bahkan masyarakat yang tahu apa-apa juga kena tudingan kesalahan. Mengapa bisa begitu?
Masterplan
PIM itu sendiri sebenarnya sudah dibuat dan beredar tahun 2005. Menurut rencana PIM sebagai bagian dari Majapahit Park itu dibangun tiga lantai. Majapahit Park adalah proyek ambisius pemerintah untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu, dengan tujuan menyelamatkan situs dan benda- benda cagar budaya di dalamnya dari kerusakan dan menarik kedatangan turis, dan sekaligus sebagai sarana edukatif dan rekreatif.
PIM sendiri nantinya akan berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang disebut Cungkup Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit. Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.
Peletakan batu pertama PIM dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 3 November 2008. Lokasinya di tanah lapang bersebelahan dengan Museum Trowulan yang sejak 1 Januari 2007 diubah namanya menjadi Pusat Informasi Majapahit. Meski dalam perjalanannya ditemukan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno, hal itu tak dihiraukan. Tanah terus digali dan benda bersejarah itu dijebol untuk pembangunan sekitar 50 tiang pancang beton Pusat Informasi Majapahit (PIM). Di sekitarnya, batu bata kuno berukuran besar dan berwarna kehitaman peninggalan zaman Majapahit dibiarkan berserakan.
Bangunan Trowulan Information Center (disebut juga Pusat Informasi Majapahit), yang memakan lahan seluas 2.190 meter persegi dan dirancang oleh arsitek Baskoro Tedjo itu adalah tahap pertama dari keseluruhan proyek senilai Rp 25 miliar, yang direncanakan selesai dalam tiga tahun mendatang. Ironinya, proyek pembangunan itu justru memakan korban situs itu sendiri, bahkan di tahap yang paling awal.
Sampai di sini, geger tak akan meledak kalau saja Harian Kompas tidak memberitakannya awal Januari yang lalu. Pemerintah dituduh melakukan perusakan karena proyek PIM tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak mempunyai kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tak punya studi kelayakan, dan tak melibatkan Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pengemban tugas penelitian di wilayah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal tersebut tidak saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 tentang Benda Cagar Budaya, tetapi juga tak sesuai dengan etika profesi arkeolog dan hati nurani.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, Drs. I Made Kusumawijaya, M.Si, mengakui bahwa metode pembuatan fondasi dengan cara menggali tanah memang semestinya tidak dilakukan karena akan merusak situs sejarah dalam jumlah banyak. Sekalipun begitu, ia memastikan sejumlah cor beton maupun batu kali yang sudah terpasang untuk fondasi tidak akan diangkat lagi.
“Perlakuan Pemerintah diibaratkan bapak memperkosa anak dan kemudian memutilasinya,” kata Prof Dr Mundardjito, menggambarkan kerusakan situs akibat proyek PIM senilai Rp 25 miliar tersebut. Walaupun ditunjuk sebagai Tim Evaluasi Pembangunan PIM tanpa SK (surat keputusan), Mundardjito bersama Arya Abieta, Osriful Oesman, Daud Aris Tanudirjo, dan Anam Anis, mengaku telah melakukan evaluasi sebagaimana diharapkan. Namun, yang sangat ia sayangkan, sembilan poin penting yang direkomendasikan, terkesan tidak dipedulikan.
Saling Tuding
Pimpinan proyek pembangunan Majapahit Park, Aris Soviyani, memberikan versi berbeda. Ia bersikeras bahwa tak ada situs Majapahit yang dirusak dengan pembangunan ini. Pernyataan Aris ini didukung oleh Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur I Made Kusumajaya, yang mengatakan bahwa penggalian fondasi untuk pembangunan pusat informasi itu sudah dilakukan dengan memperhatikan kaidah arkeologis. ”Memang harus ada (situs) yang rusak, tetapi yang rusak itu bukan bagian penting,” ujar Made sambil menunjuk tumpukan bongkahan batu bata dari zaman Majapahit yang sudah rusak.
Sedangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik,mengakui ada kekeliruan dan kecerobohan dalam proses pekerjaan penggalian terkait pembangunan proyek sehingga merusak bagian-bagian situs sejarah tersebut. Namun semula Menbudpar tetap ngotot membangun PIM di lokasi itu juga, hanya waktunya ditunda. Karena kalau dibangun di lokasi lain diluar Trowulan, tidak ada auranya.
Sementara itu, Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat menganggap arsitek yang menangani pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, Baskoro Tedjo, hanya menjadi kambing hitam. Dosen Institut Teknologi Bandung tersebut ditunjuk menjadi arsitek pembangunan PIM ketika masterplannya sudah jadi. ”Dari pengakuan Baskoro, sebelum dia membuat desain peta lokasi PIM, masterplan sudah jadi. Seharusnya pembuat masterplan ini yang harus mempertanggungjawabkan hasil karyanya,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jabar Pon S Purajatnika.
Secara terpisah, Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pengemban tugas penelitian arkeologi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tidak pernah dilibatkan. ”Padahal, Situs Majapahit di Trowulan itu merupakan bagian dari sasaran penelitian arkeologi yang dirancang jangka panjang. Secara akademis maupun teknis Balai Arkeologi Yogyakarta tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan PIM,” kata Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto.
Anggota DPRD Kabupaten Mojokerto Syaiful Fuad mengungkapkan, pelanggaran yang dilakukan tergolong dalam kategori berat. Semestinya sebelum mendirikan bangunan, pemerintah pusat yang dalam hal ini Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) atau Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jatim yang terlibat di dalamnya harus lebih dulu mempelajari kemungkinan terburuk terkait dampak pembangunan terhadap situs-situs kerajaan yang terendam dalam tanah.
Menurutnya pelanggaran yang dimaksud adalah melawan produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yakni Perda Nomor 11 Tahun 2002 yang telah diundangkan pada 18 November 2002 tepatnya Nomor 4 seri D tentang IMB. ”Artinya kalau Amdal tidak dilakukan sudah jelas IMB tidak dikantongi oleh pelaksana,” terangnya. Fuad menambahkan kendati PIM merupakan proyek pemerintah pusat dan didanai oleh APBN, pihaknya meminta agar Pemkab Mojokerto selaku pemegang wilayah tidak tinggal diam.
Kepala Bapedalda Kabupaten Mojokerto Heri Suwito mengatakan, sejauh ini pelaksanaan PIM memang belum mengantongi IMB, yang dibuktikan dengan hasil pengkajian Amdal. ”Belum ada izin IMB-nya, makanya kita tidak bisa melakukan pengkajian Amdal,” kata Heri singkat.
Rakyat Juga Dituding
Meski tidak terkait dengan pembangunan PIM, tak urung masyarakat setempat juga tak luput dari tudingan kesalahan. Tudingan itu berbunyi, bahwa kerusakan situs Trowulan akibat industri rakyat pembuatan batu bata justru jauh lebih hebat. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak setiap tahunnya untuk pembuatan batu bata rakyat.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmodjo mengatakan, situs Majapahit di Trowulan mengalami kerusakan sejak tahun 1990. Sedikitnya 5.000 keluarga menggantungkan hidupnya pada industri batu bata yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit.
Padahal, masyarakat menggali tanah untuk pembuatan batu bata karena tak ada penghasilan alternatif. Masyarakat juga berharap saat menggali tanah bisa menemukan benda-benda bersejarah yang kemudian bisa dijual. “Saya ini kan orang kecil, kalau tidak buat itu (batu bata), lantas makan apa. Sementara cari kerja harian juga sulit,” kata Wanito (54), penduduk di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Wanito sehari-hari membuat patung dari tanah liat bersama sejumlah saudaranya.
Suwadi (56), salah seorang pembuat batu bata, yang melakukan penggalian tanah dan memusatkan usahanya di sebuah lahan persis di belakang Pusat Informasi Majapahit (PIM), mengatakan dirinya sering kali menemukan peninggalan Majapahit. Suwadi sudah bertahun-tahun menjalankan usahanya dan tidak terhitung sudah berapa hektar lahan rusak. Padahal, di lapisan bawah lahan itu ada peninggalan Majapahit.
Relokasi dan Pengusutan
Hasil rapat 8 Januari 2009 dengan puluhan pemangku kepentingan di Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, disepakati Situs Trowulan yang rusak akibat proyek PIM harus direhabilitasi dan diteliti kembali dengan melibatkan para ahli. Selain itu, proyek tersebut harus dicarikan alternatif lokasi yang baru (relokasi) ke tempat yang tidak merusak situs.
Taman Majapahit atau Majapahit Park tetap akan dibangun di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Meski demikian, pembangunan akan didesain ulang dengan cara disayembarakan dan situs yang ada sekarang tidak boleh dirusak. Untuk itu, telah dibentuk tim evaluasi atas proyek tersebut oleh Menbudpar. Secara bertahap, usulan langkah lanjutan atas situs Trowulan meliputi relokasi, rehabilitasi (merekonstruksi situs yang rusak sesuai kaidah arkeologi), penataan ruang, dan penetapan kawasan situs nasional Majapahit.
Namun anehnya, tanggal 14 Januari 2009 Bupati Mojokerto Suwandi mengatakan pembangunan yang didanai pemerintah pusat sebesar Rp 200 miliar itu layak untuk diteruskan. Selain bisa menjadi sarana wisata dan pengetahuan seputar kejayaan Majapahit, PIM dianggap mampu mendongkrak pelestarian budaya di kancah internasional.
Meski demikian, pihak kepolisian melakukan pengusutan dan terus mengumpulkan bukti-bukti bahwa telah terjadi pengrusakan dan pelanggaran hukum. Namun nampaknya kepolisian tak punya bekal yang memadai untuk mengibarkan bendera perang. Sejumlah saksi ahli dipanggil, mangkir datang. Masyarakat nanti akan menilai, apa jadinya jika suatu ketika nanti kepolisian memutuskan “pemerintah dinyatakan sebagai tersangka” kasus perusakan situs purbakala. Atau, bisa jadi kasus ini akan menguap begitu saja.
Yang jelas, proyek Taman Majapahit ini setidaknya memberi pelajaran sangat berharga, antara lain niat baik saja kalau tidak diaplikasikan dengan baik, hasilnya tidak akan baik. (swaramajapahit@gmail.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar