WAKTU ITU SALATIGA HANGAT DENGAN macam-macam diskusi politik. Pemerintahan militer Orde Baru menekan kebebasan sipil, kebebasan akademik dan demokrasi. Mahasiswa hidup dalam rasa takut. Mereka kagum pada Arief Budiman, seorang pembangkang-cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Ph.D. dari Universitas Harvard, yang sering melancarkan kritik terhadap kapitalisme dan otoriterisme Orde Baru. Orang suka bicara politik walau bisik-bisik.
Suatu sore yang tenang, di sebuah pondokan di Jalan Cemara II, seorang mahasiswa menyodorkan fotokopi majalah berbahasa Inggris, berisi laporan tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jenderal Benny Moerdani dan Wakil Presiden Sudharmono, Soeharto mendekati Islam, represi terhadap Timor Timur dan sebagainya.
Saya
 kurang perhatikan judulnya. Tapi ada kalimat “A Reporter at Large” 
mencolok. Desain majalah agak tak lazim. Model majalah kuno di Pulau 
Jawa pada 1960-an.
“Berapa ongkos fotokopi ini?” tanya saya.
“Gampang,” ujarnya.
Malam itu saya baca laporan yang ditulis oleh Raymond Bonner. Laporan dibuka dengan dokumen rahasia Rand Corporation –think tank berpengaruh di Washington DC– beberapa saat setelah Shah Reza Pahlevi dari Iran tersingkir oleh gerakan revolusi Islam dari Ayatollah Khomeini. Menurut Rand Corporation, ada tiga negara lain yang bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.
Ketiganya dipimpin oleh penguasa otoriter: Chun Doo-Hwan, Ferdinand Marcos serta Soeharto.
 Mereka memanipulasi pemilihan umum, melakukan pembunuhan politik, 
korupsi besar-besaran, serta dekat dengan dunia Barat. Pada lapisan 
menengah dan bawah ada ketakpuasan terhadap Chun, Marcos dan Soeharto.
 Konon saking rahasia, laporan Rand Corporation hanya dicetak 20 
eksemplar dan dibagikan ke kalangan terbatas. Presiden Ronald Reagan 
termasuk menerima satu.
Perlahan laporan 
itu menarik saya masuk ke detail demi detail politik Indonesia. Bonner 
mengutip professor-professor Jogjakarta, mahasiswa Bandung, cendekiawan 
Padang, wartawan Jakarta dan seorang rektor
 Makassar. Bagai film kolosal, Bonner menghanyutkan pembaca, pelan-pelan
 memahami kerumitan sebuah negara pasca-kolonial yang bernama Indonesia.
Bonner datang dari New York dan liputan selama dua bulan di Indonesia. Dia wawancara sumber di Jakarta, Padang, Makassar, Jogjakarta dan Bandung. Dia tak bisa datang ke Dili karena militer Indonesia membuat Timor Timur daerah tertutup. Maka dia interview orang-orang Timor dan Portugis di Darwin, Australia.
Bonner datang dari New York dan liputan selama dua bulan di Indonesia. Dia wawancara sumber di Jakarta, Padang, Makassar, Jogjakarta dan Bandung. Dia tak bisa datang ke Dili karena militer Indonesia membuat Timor Timur daerah tertutup. Maka dia interview orang-orang Timor dan Portugis di Darwin, Australia.
Bonner bicara dengan 
orang-orang yang akrab dengan Indonesia, misalnya Ed Masters dan 
Marshall Green, keduanya mantan duta besar Amerika di Jakarta. Frederick
 Bunnel, professor ilmu politik dari Amerika. Jack Whittleton,
 duta besar Kanada di Jakarta. Bonner juga bicara dengan Jose Costa 
Alves, konsul jenderal Portugis di Darwin atau Gubernur Timor Timur 
Mario Viegas Carrascalao, serta pengusaha Hotel Turismo Dili Sebastian 
Calado.
Buat mahasiswa yang suka diskusi,
 laporan itu menyenangkan karena informasi Bonner jarang dimuat media 
massa Jakarta. Kini mereka tercetak lengkap, dari fakta, gosip, hingga 
rasa kecewa, marah dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta 
dengan memandang cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak lupa 
berapa lama saya baca laporan Bonner. Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi seingat saya, semalam suntuk saya pakai buat membaca. Esok hari saya terlambat bangun. Bolos kuliah.
Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat narasi ini.
Namanya ... The New Yorker.
BEBERAPA SAAT SETELAH PERANG DUNIA I USAI. Ekonomi Amerika bergerak lagi, terutama di New York, kota pelabuhan dan perdagangan penting yang mengundang banyak pendatang. Salah satunya wartawan bernama Harold W. Ross.
Ross kelahiran 
1892 di Alpen, Colorado. Sekolahnya agak berantakan. Namun dia punya 
bakat menulis dan suka membaca. Pada usia belasan tahun Ross memutuskan 
jadi wartawan. Kerjanya pindah dari kota ke kota: Sacramento, Panama, New Orleans, Atlanta, sebelum jadi sukarelawan tentara Amerika Serikat dalam Perang Dunia I.
Dia
 dikirim ke Paris pada 1917. Tapi tak lama, Ross melakukan desersi. 
Dasar anak badung, bukan dihukum, malah dipercaya jadi editor Stars and Stripes, mingguan militer Amerika. Misi mingguan ini menyediakan hiburan untuk menjaga moral tentara.
Ross
 cukup berhasil. Dia menyajikan humor dan kartun, bahkan menerbitkan 
buku tentang humor prajurit. Selera humor Ross baik. Dia juga menikmati 
seni, makan enak, jalan-jalan, namun di atas segalanya, Ross muda sangat
 tertarik pada kata-kata. Dia mencintai sastra dan gemar mengasah 
kepekaan kritik sastra.
Di Paris pula teman dekat dan rekan kerja Ross, Alexander Wolcott, memperkenalkan Ross dengan Jane Grant, wartawati The New York Times. Mereka jatuh cinta, pacaran dengan hangat, hingga satu saat bicara tentang pernikahan. Grant mengajak Ross tinggal di New York, metropolitan paling besar di Amerika. Ross menolak. New York, menurut Ross, “... kota yang menakutkan.”
Grant membujuk dan 
hati Ross leleh. Mereka menikah. Bersama dua teman, pasangan muda ini 
menyewa rumah di Manhattan, daerah paling sibuk di New York dan 
menjadikannya sebuah komunitas. Di sana wartawan, seniman dan pengacara 
suka berkumpul dan diskusi tentang seni dan sastra.
Ross bekerja sebagai editor
 di sebuah majalah. Tapi lama-lama dia berpikir untuk menerbitkan media 
sendiri. Dia punya beberapa ide: sebuah harian khusus isu perkapalan, 
penerbitan buku, atau sebuah “majalah ringan.”
Grant
 memperkenalkan suaminya dengan Raoul H. Fleischmann, seorang Yahudi 
kaya dari keluarga besar pemilik perusahaan roti. Fleischmann kurang 
suka pada bisnis keluarganya. Dia menjalankan bisnis roti karena rasa 
tanggung jawab semata pada ibu dan saudara perempuannya. Ketika bisnis 
itu mapan, Fleischmann ingin terjun ke bisnis yang tak sekadar berdagang
 komoditas.
Fleischmann tertarik dengan proposal
 Ross. Apalagi ekonomi Amerika sedang tumbuh, tarif pengiriman pos 
menggiurkan, dunia periklanan perlu media nasional, teknologi cetak foto meningkat, serta teknik penjilidan sudah lebih cepat. Fleischmann bersedia jadi penerbit majalah ini dan Ross menjadi editor.
Ross ingin majalah ini menjadi media yang sophisticated.
 Artinya ia diciptakan untuk konsumsi orang-orang sekolahan, mengerti 
seni dan sastra, tapi perlu informasi dan analisis mendalam. Majalah ini
 bukan majalah berita. Ross bahkan tak suka dengan tenggat berita. Ross 
menekankan unsur humor dalam majalah. Ini tak mudah karena membuat 
artikel yang membuat orang tersenyum, merasa lucu, lebih sulit daripada 
membuat laporan biasa, berisi informasi.
Dia mengajak 
teman-teman diskusi untuk mengisi majalah itu. Ada yang penuh waktu, ada
 yang paruh waktu. Pada 21 Februari 1925 mingguan The New Yorker 
meluncur ke pasar. Mulanya dicetak 30.000 eksemplar tapi ditambah 
menjadi 40.000 karena permintaan pasar. Dalam setahun, format dan desain
 The New Yorker menemukan bentuk.
Thomas Kunkel dalam buku Genius in Disguise menganggap The New Yorker sebuah ironi. Bagaimana sebuah majalah yang dianggap paling sophisticated
 di Amerika ternyata lahir dari tangan seorang wartawan kota kecil yang 
sekolahnya tak beres, apalagi tak menyandang gelar dari kampus besar 
macam Harvard, Yale dan Stanford.
Ini sebuah bukti 
lagi bahwa orang bukan sekolahan, bukan tak mungkin menghasilkan karya 
bagus. Kunkel menekankan bahwa ini mungkin terjadi karena Ross adalah 
pribadi yang bisa belajar sendiri.
Kunkel 
membeberkan prestasi Ross secara jelas. Ross memoles orang-orang 
berbakat menjadi penulis hebat. Seusai membaca laporan para kontributor, Ross suka membuat satu daftar pertanyaan buat mereka. Para kontributor The New Yorker dipaksa berpikir lebih keras, menerangkan setiap ide, logika, tata bahasa, setelah membaca daftar pertanyaan Ross.
Sirkulasi The New Yorker
 naik dari rata-rata 14.064 per minggu pada 1925 menjadi 46.446 pada 
1926. Sepuluh tahun kemudian sirkulasi naik jadi 128.210 dan pada 1941 
jadi 171.665. Kenaikan terjadi tanpa biaya promosi besar. Antara 1927 
dan 1940 The New Yorker menjadi satu dari tiga majalah top di Amerika dari segi penghasilan.
Dari sisi segmentasi, pembaca The New Yorker lebih menarik daripada dua saingan mereka, Reader’s Digest dan Time, karena separuh pembaca The New Yorker
 tinggal di New York, kota terbesar dan terkaya di Amerika. Antara 1925 
dan 1927, Fleischmann rugi tapi mulai 1928 dia untung. Pada tahun 
keempat majalah ini mendapat laba bersih (sesudah pajak) US$ 287.000, 
lalu US$ 486.100 pada 1929 dan meningkat US$ 619.400 pada 1934.
Buat Ross, menjadi seorang editor
 berarti menjadi anonim, memainkan peran Pygmalion, yang tersembunyi, 
tak terdengar dan tak kelihatan. Ross memainkan peran itu dengan 
sempurna. Dia mempekerjakan penulis-penulis legendaris: E.B. White, John
 Hersey, Wolcott Gibbs, John O’Hara, John Updike, Rebecca West dan 
seterusnya. Di antara para kartunis besar terdapat juga Charles Addams, 
Helen Hokinson, James Thurber, Roz Chast, Peter Arno dan Rea Irvin.
Menurut Brendan Gill dalam buku Here at The New Yorker, selama puluhan tahun, Ross menjalankan peran sebagai ayah-paman-kakak-pengasuh-pastor buat para kontributor The New Yorker. Ross meminjami duit. Ross mengirim kontributor
 yang sakit ke ruang operasi. Ross mengurus perselingkuhan. Ross 
mengurus orang mati. Dia juga menerima protes. John O’Hara, misalnya, 
seorang pengarang cerita pendek, selalu merengek minta honor naik. Dia 
suatu saat mengirim memo, “Ross, saya perlu uang, saya perlu uang, saya 
perlu uang, saya perlu uang, saya perlu uang ....” 
Dari urusan serius hingga paling lucu mau tak mau diurusi Ross. Brendan Gill tak melihat kejengkelan Ross ketika bekerja di sana. Gill merasa dia kurang diperhatikan. Ini kebiasaan semua kontributor, dari penulis hingga pelukis. Gill merasakan peran besar Ross justru setelah dia keluar dari The New Yorker.
Dengan berjarak Gill merasa bahwa Ross ternyata mengambil peran macam-macam buat orang-orang kreatif yang bekerja di The New Yorker.
 Dengan gaya bicara yang berapi-api, terkadang memaki, tapi selalu 
lembut pada perempuan, Ross memimpin majalah ini dengan penuh kesabaran.
 Terkadang gayanya meledak-ledak. Ross suka mengumpat, tentu dengan 
humor, depan banyak orang. Suatu saat Ross mengumpat, “Kantor
 ini sebenarnya mirip sarang semut. Tak ada satu orang pun yang tak 
bermasalah di sini. Lihat (nama orang) yang mengaku buah pelirnya 
bengkak, atau (nama lain) yang mengira lubang duburnya buntu. Oh my God, apa tak cukup masalah di dunia ini dari sekadar mengurus sampah beginian?”
Dalam Genius in Disguise,
 Thomas Kunkel tak mampu menyembunyikan kekaguman pada Ross. Tapi Kunkel
 menjaga jarak agar bisa melihat kelemahan-kelemahan Ross. Kunkel 
menggambarkan Ross orang ceroboh. Ross senantiasa kekurangan uang walau 
besar penghasilan. Dia acapkali ditipu orang dekat. Seorang sekretaris 
pernah meniru tanda tangan Ross selama beberapa tahun hingga Ross 
menderita kerugian US$ 75 ribu tanpa sadar.
Ross 
menikah tiga kali dan tiga kali pula gagal. Ross pisah dari Jane Grant 
pada 1927 dan bercerai dua tahun sesudahnya. Mungkin Ross terlalu sibuk 
dengan The New Yorker sehingga tak punya banyak waktu buat keluarga. Dengan istri kedua, Marie Francoise Elie, Ross memiliki seorang putri.
Walau
 sudah cerai dari Grant, Ross terikat kontrak memberi bantuan keuangan 
pada istri pertamanya itu. Ross juga rutin bertemu dengan Grant karena 
Grant ikut mendirikan dan memegang saham The New Yorker. Grant juga diperlukan karena dia bisa menjembatani perseteruan Ross dengan Fleischmann.
PERANG DUNIA II MENGUBAH PENAMPILAN The New Yorker. Jane Grant mengusulkan The New Yorker dicetak khusus untuk edisi perang. Rapat pemilik saham setuju dan majalah ini menciptakan edisi mini, tanpa iklan dan ukurannya lebih kecil, khusus dibagikan buat tentara Amerika di medan perang.
PERANG DUNIA II MENGUBAH PENAMPILAN The New Yorker. Jane Grant mengusulkan The New Yorker dicetak khusus untuk edisi perang. Rapat pemilik saham setuju dan majalah ini menciptakan edisi mini, tanpa iklan dan ukurannya lebih kecil, khusus dibagikan buat tentara Amerika di medan perang.
Sambutan
 prajurit Amerika ternyata besar sehingga pihak militer Amerika bersedia
 membayar subsidi kertas dan biaya lain sehingga edisi mini ini sampai 
dicetak 150 ribu pada akhir 1944. Bersamaan dengan penerbitan edisi 
mini, para kontributor The New Yorker lebih sering meliput Perang Dunia II.
Koresponden The New Yorker A.J. Liebling pada Maret 1943 menerbitkan laporan berjudul “The Foamy Fields,”
 tentang sebuah kamp Angkatan Udara Amerika, dengan pilot, mekanik dan 
perwira intelijen di selatan Tunisia di Afrika Utara.
Liebling
 datang suatu malam, tidur di sebuah tenda berlubang, bersama dua 
mekanik. Suasana gelap karena dilarang menyalakan lampu, yang memudahkan
 musuh menyerang. Liebling bahkan tak mengenal wajah teman setendanya 
walau mereka berkenalan dan bercakap-cakap dalam gelap. Sebelum terang 
mereka sudah keluar dari tenda.
Laporan Liebling 
berbeda dari kebanyakan laporan perang karena dia justru tak tertarik 
pada masalah makro. Dia bercerita bagaimana dia berkenalan dengan pilot 
muda. Sambil menunggu jam patroli, para pilot itu bermain dengan 
anak-anak anjing, lalu menerima serta membuka kiriman surat dari 
keluarga mereka di Amerika. Ada yang dapat kue kering, permen, majalah. 
Mereka juga main kartu. Semua senang, tertawa dan tengah hari mereka 
santai menuju hanggar buat patroli rutin.
“Sebentar saja,” ujar seorang dari delapan pilot itu.
Dua
 jam, patroli itu kembali. Liebling kaget ketika melihat pesawat pertama
 mendarat dengan roda tak mau keluar dari sangkarnya. Cairan oli menetes
 keluar. Pendaratan yang berbahaya tapi selamat. Pilotnya penuh luka. 
Lalu pesawat dua, tiga, empat, lima juga datang. Tubuh pesawat penuh 
tembakan, kaca pecah. Tapi pesawat keenam, ketujuh dan kedelapan tak 
kembali.
Patroli rutin itu berubah jadi tragedi. 
Mereka disergap pesawat Jerman. Dan pilot yang bilang “sebentar saja” 
termasuk yang tertembak pesawat Jerman.
Liebling 
memakai kata “saya” untuk bercerita apa yang dilihatnya. Liebling 
sebenarnya bercerita tentang kegetiran perang, tentang dilema kekerasan 
untuk menyelesaikan pertikaian. Liebling menjadikan perang sebagai 
sesuatu yang dekat, yang kejam, dilihat dari jarak dekat. Banyak yang 
meniru gaya Liebling.
Ada kontributor
 yang menyaksikan langsung bagaimana bom dijatuhkan di daerah Jerman. 
Dia masuk ke perut pesawat bomber, mencatat anak muda yang ragu 
menjatuhkan bom, atau pilot yang khawatir terkena tembakan meriam 
antipesawat. Ada kontributor yang menyaksikan pertempuran di Iwo Jiwa, dekat Jepang. Ada juga yang meliput Teluk Persia. Samudera Pasifik. Okinawa.
Janet Flanner, koresponden The New Yorker
 di Paris, membuat cerita menarik tentang seorang nyonya Amerika, yang 
melarikan diri dari Paris, ketika diduduki Nazi, Jerman, lewat 
pemeriksaan demi pemeriksaan, hingga kembali ke Amerika.
Namun, namanya juga perang, The New Yorker terpaksa memberikan toleransi terhadap laporan yang berlepotan. Kiriman via kawat kadang tidak sambung, terpaksa diulang, tambah bobrok sehingga editor menulis ulang. Editor
 macam Ross memperlihatkan kekuatan justru ketika harus mengubah laporan
 yang berlepotan, minta kiriman ulang, mengecek ulang fakta demi fakta, 
menimbang logika dan mengubah laporan di medan perang itu jadi narasi 
panjang yang enak dibaca.
Saking populer liputan kontributor macam Liebling dan Flanner, dua tahun setelah perang usai, pada 1947, majalah ini menerbitkan buku The New Yorker Book of War Pieces. Isinya melulu liputan Perang Dunia II. Buku ini dianggap karya baik sehingga terus-menerus dicetak ulang hingga kini. 
Namun dari sekian naskah perang, tampaknya tak ada yang mengalahkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” terbitan 31 Agustus 1946. Laporan ini beberapa kali disebut sebagai karya jurnalisme terpenting di Amerika Serikat abad ke-20.
Hersey mulanya bekerja buat majalah Life. Alumnus Universitas Yale dan tinggal di Cambridge, kota kecil di pinggiran Boston. Suatu sore pada 1942, wartawan muda ini pergi dengan istrinya, Frances Ann Cannon, menonton sebuah pertunjukan seni.
Menurut Ben Yagoda –memanfaatkan arsip-arsip internal The New Yorker buat bahan buku About Town–
 Cannon memperkenalkan suami dengan bekas pacarnya, seorang letnan 
Angkatan Laut Amerika bernama John F. Kennedy. Kedua lelaki ini cocok 
mengobrol apalagi setelah Kennedy bercerita bagaimana kapalnya tenggelam
 di sebuah pulau di selatan Pasifik.
Selama 
berhari-hari Kennedy berenang dari satu pulau ke pulau lain, membawa 
anak buah yang luka, untuk mencari bantuan. Dia harus berhati-hati 
karena patroli Jepang acap muncul di perairan itu. Hersey tertarik pada 
heroisme Kennedy dan memutuskan untuk wawancara lebih dalam beserta 
beberapa anak buahnya.
Hersey menawarkan laporan itu kepada Life tapi ditolak sehingga dialihkannya ke The New Yorker.
 Ia diberi judul “Survival.” Kelak “Survival” dicetak ratusan ribu oleh 
keluarga Kennedy untuk membantu kampanye John F. Kennedy menjadi senator dan, pada gilirannya, presiden Amerika Serikat.
“Survival” juga membuat John Hersey dekat dengan The New Yorker. Pada akhir 1945 dia hendak pergi ke Tiongkok dan Jepang untuk melihat situasi pasca-Perang Dunia II, dia mendatangi dulu kantor The New Yorker.
Hersey bertemu dengan William Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker,
 dengan siapa dia berdiskusi sekitar 10 buah ide laporan. Satu di 
antaranya membuat laporan pemboman lewat kacamata penduduk kota yang 
jadi sasaran bom.
Ide ini semula hendak dikerjakan oleh kontributor
 lain terhadap kota Cologne, Jerman, yang dihujani bom Sekutu. Tapi 
pemboman nuklir Hiroshima membuat Cologne terlihat kecil. Shawn 
menawarkan ide tersebut pada Hersey untuk diterapkan di Hiroshima.
Dalam perjalanan kapal laut dari Tiongkok ke Jepang, iseng-iseng Hersey membaca novel The Bridge of San Luis Rey karangan Thornton
 Wilder yang bercerita tentang bencana alam di Peru pada abad ke-18. 
Hersey menganggap ide Wilder yang menceritakan bencana itu dari 
pandangan beberapa korban bisa dipakainya. 
Setibanya di Hiroshima, Hersey mewawancarai 40-an akademisi dan ahli. Dia juga bicara dengan para korban, lima di antaranya orang Jepang dan seorang pastor Jerman. Keenam orang itulah yang dijadikan Hersey sebagai karakter utama dalam laporannya.
Hersey
 menceritakan kedahsyatan bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus
 soal bom rahasia, ada kematian menyeramkan, ada dendam, ada perasaan 
rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekam dalam tulisan.
Ketika
 kembali ke Amerika, Hersey perlu waktu enam minggu untuk menulis. 
Mula-mula Hersey membuatnya jadi empat bagian dengan harapan The New Yorker
 memuat dalam empat nomor bersambung. Shawn mengedit hingga selesai. 
Shawn merasa laporan Hersey bagus sekali sehingga dia datang ke Ross dan
 berkata, “Ini tidak bisa dibuat bersambung. Ini harus terbit sekali 
jadi.” Ross agak bingung karena laporan Hersey sepanjang 30 ribu kata 
bakal menghabiskan seluruh halaman majalah.
Selama 10 
hari, dari pukul 10 pagi hingga pukul 2 dini hari, Shawn dan Ross 
mengurung diri di kamar kerja Ross, melakukan editing laporan tersebut. 
Gaya Ross dalam menyunting adalah melayangkan pertanyaan tertulis. Untuk
 bagian pertama saja Ross menghasilkan 47 pertanyaan buat Hersey. Ketika
 sudah direvisi, Hersey masih mendapat enam pertanyaan lagi. Ross 
bertanya hal-hal kecil, misalnya kejelasan, konsistensi, diksi, tata 
bahasa, atau logika. Ross memutuskan laporan Hersey bisa terbit dalam 
satu nomor.
Sehari sebelum diterbitkan, The New Yorker
 mengirim nomor awal edisi itu ke suratkabar lain. Surat pengantar Ross 
menjelaskan bagaimana bom itu membunuh 100 ribu dan melukai 100 ribu 
penduduk Hiroshima yang berjumlah 245 ribu.
Ketika muncul di pasar, The New Yorker habis diserbu pembaca. Minggu itu tak ada media Amerika yang tak memberitakan laporan Hersey. The New York Times memuatnya. The New York Herald Tribune membuat ringkasan. America Broadcasting Company
 membacakan laporan itu buat pendengar selama empat hari, masing-masing 
setengah jam, berturut-turut tanpa interupsi siaran iklan. Di seberang 
Samudera Atlantik, radio British Broadcasting Corporation juga membacakan naskah Hersey. 
Seorang pembaca The New Yorker menulis, tak seorang pun tak membicarakan laporan Hersey selama dua hari berturut-turut di seluruh New York: di restoran, kereta api dan rumah. Koran-koran memberitakan dan New York meledak gara-gara laporan Hersey.
Laporan
 Hersey memicu sebuah gerakan antibom nuklir yang gemanya terasa hingga 
beberapa dekade kemudian, terutama dalam suasana Perang Dingin. Laporan 
Hersey juga menggugah kesadaran manusia bahwa bom nuklir tak layak 
dipakai dalam perang, karena secara pukul rata membunuh semua orang, 
sipil atau militer, wanita dan anak-anak.
Laporan Hersey juga mengukuhkan The New Yorker
 sebagai majalah serius. Dia bukan lagi majalah ringan. Kehadirannya 
diperhitungkan. Fisikawan Albert Einstein, yang menulis teori pertama 
soal energi atom,
 tak mendapatkan edisi 31 Agustus 1946 tersebut. Einstein ingin membeli 
1.000 buah lagi buat diberikan ke teman-temannya. Majalah itu laku 
habis. Einstein tak kebagian.
PADA 5 DESEMBER 1951, MAUT MENJEMPUT ROSS karena kanker saluran pernafasan. Dia meninggalkan seorang putri yang masih kecil serta istri ketiga, Ariane Allen, yang dalam proses perceraian. Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, resmi menggantikan Ross pada 21 Januari 1952.
PADA 5 DESEMBER 1951, MAUT MENJEMPUT ROSS karena kanker saluran pernafasan. Dia meninggalkan seorang putri yang masih kecil serta istri ketiga, Ariane Allen, yang dalam proses perceraian. Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, resmi menggantikan Ross pada 21 Januari 1952.
Berbeda dari Ross yang ramai dan suka bergurau, Shawn orang sopan, pendiam, pemalu, walau terkadang dianggap eksentrik bahkan misterius. Kalau Ross senang mengirim surat dan memo, Shawn hemat tulisan. Shawn lebih suka bicara via telepon, tatap muka atau mengirim telegram pendek. Ketika mulai bekerja, Shawn tak menunjukkan kemampuan menulis luar biasa. Tapi dia teliti dalam reportase.
Tapi kesamaan Ross dan 
Shawn adalah kecintaan mereka pada jurnalisme. Mereka juga tak suka 
publikasi dan tak mau nama mereka muncul dalam masthead The New Yorker. Suksesi mulus karena Shawn termasuk editor senior dan tak ada seorang pun berharap Shawn menciptakan perubahan pada The New Yorker.
Ben Yagoda menggambarkan sepuluh tahun pertama kepemimpinan Shawn sebagai biasa-biasa saja. Shawn menjaga mutu The New Yorker,
 tapi perlahan dia merekrut orang muda berbakat, menggantikan orang 
lama. Dia tak segan menelepon wartawan mahasiswa, mengajak wartawan muda
 bergabung ke The New Yorker.
Seorang wartawan Harvard Crimson,
 harian mahasiswa dari Universitas Harvard, suatu hari menerima telepon.
 Suara sopan di ujung telepon memperkenalkan diri, “Saya William Shawn 
dari The New Yorker.” Bill Mc Kibben mengira ada teman mengerjai.
 Telepon dibanting. Beberapa tahun kemudian dia sadar bahwa Shawn memang
 menelepon hari itu.
Shawn, dengan gaya kepemimpinan sopan, perlahan mencapai lagi era gemilang The New Yorker
 ala Harold Ross. Satu demi satu narasi hebat bermunculan, mulai dari 
Truman Capote yang menulis “In Cold Blood” tentang pembunuhan berdarah 
dingin sebuah keluarga petani Kansas hingga laporan pengadilan Hannah 
Arendt tentang seorang tukang jagal Nazi Jerman, yang ditangkap di 
Argentina dan diadili di Israel berjudul “Eichmann in Jerusalem”. Orang 
mulai berdecak kagum pada Shawn.
Pada Juni 1962, Shawn
 menerbitkan laporan ahli biologi Rachel Carson berjudul “Silent 
Spring.” Laporan ini bercerita dampak pemakaian pestisida DDT terhadap 
ekosistem. Pestisida mematikan serangga tapi juga meracuni tanaman 
pangan, membuat polusi lingkungan hidup, membunuh binatang lain serta 
membahayakan manusia.
Carson perlu tiga tahun untuk 
riset, meliput sidang pengadilan terhadap perusahaan produsen pestisida 
dan wawancara. “Silent Spring” dianggap monumental, karena kali pertama 
dalam sejarah biologi hubungan manusia dengan alam dijelaskan secara 
populer dan detail. Ketakpedulian manusia terhadap lingkungan hidup 
berarti malapetaka.
Laporan Carson membuat penjualan The New Yorker meloncat tinggi. Ia setidaknya mencapai tingkat sensasi “Hiroshima” karya John Hersey. Ketika diterbitkan sebagai buku, harian The New York Times mencatat Silent Spring sebagai buku paling laku selama 32 minggu. Silent Spring bahkan selama beberapa dasawarsa menjadi inspirasi gerakan lingkungan hidup modern.
Shawn juga menerbitkan esei James Baldwin berjudul “Down at the Cross,” yang risetnya mulai pada 1959 ketika Baldwin mengajukan proposal bepergian ke Afrika. Baldwin ingin menulis benua hitam ini, tempat budak-budak perkebunan Amerika didatangkan. Tapi Baldwin kurang mujur. Reportasenya tak selesai.
Shawn juga menerbitkan esei James Baldwin berjudul “Down at the Cross,” yang risetnya mulai pada 1959 ketika Baldwin mengajukan proposal bepergian ke Afrika. Baldwin ingin menulis benua hitam ini, tempat budak-budak perkebunan Amerika didatangkan. Tapi Baldwin kurang mujur. Reportasenya tak selesai.
Sebagai ganti, dia membuat sebuah 
esei tentang hubungan orang kulit hitam dengan kulit putih di Amerika. 
Baldwin mengira eseinya bakal ditolak. The New Yorker
 tak pernah memuat esei. Ternyata Shawn menerima. Ini salah satu 
perubahan radikal yang dibuat Shawn. Dia merasa ketakmauan Ross, memuat 
esei sudah saatnya ditinggalkan. The New Yorker perlu memuat ide-ide baru agar pembaca bisa mengikuti pemikiran-pemikiran mutakhir.
Di
 Amerika isu rasial adalah isu peka. Baldwin menyerang orang kulit putih
 liberal yang menganggap “pernyelesaian masalah Negro tergantung pada 
kecepatan orang-orang Negro menerima dan berasimilasi dengan standar 
hidup orang kulit putih.” Baldwin berargumentasi, orang kulit hitam, 
sebagaimana layaknya kaum minoritas di manapun, berhak punya kebudayaan 
dan standar hidup sendiri. Mereka tak harus mengikuti kehendak 
mayoritas!
Baldwin ikut mengompori gerakan antidiskriminasi rasial di Amerika. Secara internal The New Yorker konsisten dengan mempekerjakan wartawan kulit hitam. Zaman Harold Ross, semua wartawan The New Yorker orang kulit putih. Tapi Shawn mengubahnya.
PADA 1965, KETIKA THE NEW YORKER MERAYAKAN ulang tahun ke-40, media lain berlomba-lomba menurunkan laporan sukses majalah ini. Seorang kontributor harian The New York Herald Tribune, Tom Wolfe, ingin tampil beda. Dia minta waktu wawancara dengan Wiliam Shawn. Sebagaimana biasa, Shawn menolak: dia menolak menjawab pertanyaan tertulis, menolak melakukan verifikasi naskah Wolfe.
Baldwin ikut mengompori gerakan antidiskriminasi rasial di Amerika. Secara internal The New Yorker konsisten dengan mempekerjakan wartawan kulit hitam. Zaman Harold Ross, semua wartawan The New Yorker orang kulit putih. Tapi Shawn mengubahnya.
PADA 1965, KETIKA THE NEW YORKER MERAYAKAN ulang tahun ke-40, media lain berlomba-lomba menurunkan laporan sukses majalah ini. Seorang kontributor harian The New York Herald Tribune, Tom Wolfe, ingin tampil beda. Dia minta waktu wawancara dengan Wiliam Shawn. Sebagaimana biasa, Shawn menolak: dia menolak menjawab pertanyaan tertulis, menolak melakukan verifikasi naskah Wolfe.
Tom Wolfe jalan terus dan menerbitkan sebuah parodi dengan judul “Tiny Mummies” yang mengolok-olok para redaktur The New Yorker sebagai orang yang bekerja mengawetkan ... mumi peninggalan Harold Ross. Majalah The New Yorker seakan disebutnya sudah mati, tinggal mayat, yang diawetkan Shawn, yang dioloknya sebagai orang bertubuh kecil, pendiam, kalau bicara berbisik, kalau bergerak lamban.
Menurut Yagoda, dalam buku About Town, kritik ini tak benar karena The New Yorker
 di bawah Shawn sudah berubah. Dalam periode Shawn, muncul beberapa 
laporan hebat karya Rachel Carson, Truman Capote, James Baldwin dan 
sebagainya. Shawn juga memberi banyak perhatian pada Perang Vietnam, 
mengambil sikap kritis terhadap perang itu dengan mengizinkan 
cendekiawan Amerika yang anti-Perang Vietnam untuk mengisi halaman The New Yorker. Shawn juga menurunkan banyak laporan soal bencana dan lingkungan hidup.
Ada dua Ross yang berpengaruh dalam hidup Shawn. Ross yang kedua, seorang wanita, bernama Lillian Ross. “Tiny Mummies” mengungkap hubungan intim Shawn dan Lillian Ross, salah seorang redaktur senior The New Yorker. Menurut Wolfe, Lillian dalam sehari bisa beberapa kali berada di ruangan Shawn. Mereka sering makan bersama, nonton teater, menikmati konser, jalan bersama dan sebagainya. Wolfe mengungkapkan masa kecil Shawn yang tak bahagia. Dia bersaudara 12 orang. Seorang teman Shawn diculik di depan mata Shawn dan ditemukan mati terbunuh.
Pembongkaran rahasia pribadi ini
 menyakitkan Shawn. Wolfe menuai 16 surat protes gara-gara laporan itu. 
Seseorang menyebut laporan itu bukan saja “brutal” tapi memanfaatkan 
kelemahan Shawn, kekurangan fisik dan psikologisnya, untuk dilukai. 
Orang lemah seharusnya diberi simpati, bukan diolok-olok. Laporan Wolfe,
 setelah dicek, juga mengandung lebih dari selusin kesalahan fakta.
Menariknya, 33 tahun setelah parodi Wolfe, Lillian Ross menerbitkan buku Here But Not Here: A Love Story
 yang menceritakan romannya selama 40 tahun dengan Shawn. Lillian 
menceritakan bagaimana dia mulai bercinta dengan Shawn. Lillian memakai 
apartemen seorang bintang film, sekitar 10 blok dari apartemen Shawn. 
Lillian merayakan setiap libur Natal bersama Shawn tapi membiarkan Shawn
 merayakan liburan Thanksgiving bersama istri dan anak-anaknya. 
“Bill mengatakan bahwa Cecille menerima pengaturan ini. Saya pikir, ‘Mungkin Cecille sangat mencintai Shawn sehingga dia membiarkan Shawn melakukan apa saja asal Shawn tetap hidup,’” kata Lillian Ross.
Renata Adler dalam buku Gone: The Last Days of The New Yorker
 mengatakan bahwa Lillian memang orang yang paling dekat dengan Shawn. 
Adler menyebut Lillian –yang sebagai wartawan dikenal karena liputannya 
tentang sastrawan Ernest Hemingway dan sutradara John Houston– sebagai “istri kantor” Shawn. Jadi Shawn punya dua istri: Cecille Shawn, istri di rumah dan Lillian Ross, istri kantor.
Adler menganggap terbitnya buku Ross Here But Not Here
 bukan saja penghinaan buat Cecille dan kedua anak lelaki Shawn, tapi 
juga bagi Shawn sendiri. Sejauh ini keluarga Shawn tak pernah 
mengeluarkan reaksi apapun terhadap Lillian Ross. Shawn memang 
misterius. Selama 38 tahun memimpin The New Yorker, dia jarang 
memberikan wawancara. Shawn pendiam, pemalu, pekerja keras dan bahkan 
menghancurkan banyak dokumennya sendiri, termasuk korespondensi, 
sehingga sejauh mana kebenaran buku Lillian Ross juga masih misteri.
SEJAK AWAL 1970-AN, SEJUMLAH ORANG DALAM The New Yorker mulai bicara soal siapa yang bakal menggantikan Shawn. Shawn sadar bahwa usianya sudah menginjak kepala tujuh. Pada 1978, Shawn mengirim surat pengunduran diri ke direksi The New Yorker.
SEJAK AWAL 1970-AN, SEJUMLAH ORANG DALAM The New Yorker mulai bicara soal siapa yang bakal menggantikan Shawn. Shawn sadar bahwa usianya sudah menginjak kepala tujuh. Pada 1978, Shawn mengirim surat pengunduran diri ke direksi The New Yorker.
Tapi
 dua bulan berikutnya, Shawn membatalkan niatnya dengan alasan banyak 
orang tua, antara lain maestro seni lukis Picasso, berprestasi ketika 
berumur 70 tahun lebih. Shawn tampaknya kurang sreg dengan seorang 
wakil, Robert Bingham, yang bakal menggantikannya. Shawn menjagokan editor yang lebih muda. Tapi orang muda ini, Jonathan Schell, kurang disukai anggota redaksi The New Yorker. Dia dianggap kurang berpengalaman dan terlalu meniru Shawn.
Lama-lama
 Shawn dianggap rewel soal pengganti. Dia tak percaya pada orang lain. 
Dia juga gagal mendelegasikan wewenang. Dalam periode magang, 
orang-orang yang diharapkan jadi pengganti Shawn sering tak berdaya 
karena Shawn membiarkan para wartawan mengabaikan mereka. Ada calon 
ketiga tapi memilih keluar dari The New Yorker untuk jadi editor majalah lain.
Pada
 1984, kinerja majalah ini mulai menurun dihantam persaingan dengan 
televisi maupun majalah sejenis. Perang Vietnam mempengaruhi sirkulasi The New Yorker karena sikap editorial yang agak melenceng dari arus besar. The New Yorker
 bagaimana pun dibaca oleh banyak orang mapan yang ingin liputan Perang 
Vietnam dibuat dengan berimbang. Ada juga isu gaji wartawan yang kurang 
memadai. Usul perubahan manajemen sering berbenturan dengan Shawn, 
sehingga pemilik saham The New Yorker merasa frustasi dan akhirnya menerima tawaran pembelian saham mereka oleh Samuel I. Newhouse Jr.
Newhouse
 adalah pemilik konglomerasi media bernama Conde Nast, salah satu 
kelompok bisnis media terbesar di Amerika dengan pendapatan tahunan 
rata-rata US$ 4 miliar pada 1980-an. Walau besar, citra Conde Nast 
kurang cemerlang karena produk mereka, macam majalah Vanity Fair, Vogue,
 Glamour, Mademoiselle dan GQ, dianggap pasaran.
Newhouse
 berambisi bukan saja jadi orang nomor satu kerajaan media yang kaya, 
tapi juga pemilik media paling bergengsi di Amerika. Newhouse membujuk 
keluarga Fleischmann untuk menjual saham mereka, sehingga Newhouse jadi 
pemilik saham mayoritas The New Yorker. Harga yang dibayarnya 40 persen lebih mahal dari harga pasar. Newhouse membayar total US$ 168 juta buat membeli The New Yorker. 
Newhouse janji tak campur tangan urusan redaksi dan minta Shawn mencari pengganti dari dalam The New Yorker. Tapi tiga tahun berselang, proses itu tetap tak jelas dan ketika sudah jelas, Newhouse tak suka dengan calon pilihan Shawn. Dalam keadaan berlarut-larut, pada 13 Januari 1987, Newhouse memecat William Shawn dan menggantikannya dengan Robert Gottlieb, editor penerbit buku Alfred A. Knopf, salah satu anak perusahaan Newhouse.
Para wartawan The New Yorker
 protes. Tapi kedatangan Gottlieb ternyata tak jelek. Gottlieb mampu 
mendinginkan protes tersebut walau beberapa wartawan, termasuk Lillian 
Ross dan Renata Adler, memutuskan mundur dari The New Yorker.
Gottlieb mempertahankan standar mutu The New Yorker. Dalam satu-dua hal Gottlieb, yang suka seni dan teater serta membaca The New Yorker sejak kanak-kanak, justru memperbaiki liputan The New Yorker.
 Gottlieb merekrut banyak koresponden luar negeri bernama harum, antara 
lain Raymond Bonner dan David Remnick, masing-masing spesialis Amerika 
Latin dan Rusia, untuk menjaga mutu liputan internasional The New Yorker. Pada 1988, Gottlieb mengirim Bonner ke Indonesia dan menulis laporan panjang tentang keluarga Presiden Soeharto dan bisnis-bisnis mereka, dari Bambang Trihatmodjo hingga Tommy Soeharto.
Tapi usaha Gottlieb kurang berhasil mencegah kerugian The New Yorker. Sirkulasi praktis tak berubah, pendapatan iklan kurang memadai. Pada 1993, The New Yorker
 rugi US$ 30 juta, sehingga Newhouse memecat Gottlieb dan 
menggantikannya dengan Tina Brown, seorang wartawati kelahiran Inggris, 
yang dianggap berhasil memajukan Vanity Fair, majalah kebanggaan Conde 
Nast.
Pergantian ini menimbulkan reaksi keras. Orang sangsi apakah Brown mengerti makna The New Yorker. Apalagi Brown mendesain ulang The New Yorker. Brown menambah halaman para kontributor, lengkap dengan foto mereka. Dia juga menambahkan foto di
 halaman-halaman dalam, berwarna dan hitam-putih. Dia menciptakan 
halaman surat pembaca, membuat kalimat eye catching di bawah judul, 
serta memindahkan byline di awal karangan.
Harold
 Ross, William Shawn, maupun Robert Gottlieb selalu meletakkan nama 
pengarang di akhir karangan, dengan alasan mereka tak mau menjual nama 
penulis. Biarlah pembaca menikmati suatu karangan tanpa diiming-imingi 
siapa penulisnya. Mereka menganggap foto,
 bila ada untuk melengkapi suatu cerita, cenderung menjadi pelengkap 
saja. Mereka suka bila laporan mereka kuat hanya pada narasi, tanpa 
perlu dibantu foto. The New Yorker melengkapi majalah mereka hanya dengan ilustrasi dan kartun.
Perbedaan
 lain, Brown tak segan-segan memunculkan hal-hal yang provokatif. Dia 
menerbitkan sebuah artikel tentang dildo –penis buatan dari plastik, 
alat bantu masturbasi untuk perempuan. Suatu saat Brown juga menampilkan
 maskot The New Yorker sebagai pemuda punk dengan kulit pucat. 
Brown juga cinta publisitas. Dia suka popularitas, menyukai wawancara 
dan membiarkan dirinya diiklankan bersama The New Yorker.
Bila Shawn menyukai timelessness –bahwa The New Yorker
 terbit tanpa memperhatikan unsur waktu– Brown justru menyukai 
timeliness yang kalau perlu dalam satu minggu desain majalah diganti dua
 atau tiga kali untuk mengejar berita yang sedang hangat. Shawn menyukai
 kedalaman, Brown menyukai kecepatan.
Renata Adler dalam buku Gone: The Last Days of The New Yorker berpendapat, riwayat majalah tempat Adler membangun karier tamat bersamaan pengalihan kepemilikan The New Yorker dari keluarga Fleischmann ke keluarga Newhouse. 
“Orang Conde Nast mengira mereka tahu bisnis dan tahu seni,” kata Adler. Penerbitan Conde Nast macam majalah Vanity Fair memang sukses, tebal, mengkilap, penuh iklan, foto perempuan setengah telanjang, gosip selebritas, mode pakaian, gaya hidup dan sejenisnya, tapi Vanity Fair bukan tandingan The New Yorker. Vanity Fair memang memuat laporan panjang, tapi tak pernah melewati kemampuan The New Yorker dalam memuat laporan yang bukan saja panjang tapi cerdas dan mengejutkan macam “Hiroshima” atau “Silent Spring.”
Ketika Newhouse membeli The New Yorker,
 dia memperkenalkan teknik penjualan dan promosi yang agresif. Orang 
Conde Nast giat berpromosi: menawarkan rabat langganan, menaikkan 
sirkulasi, memasang iklan horizontal, memuat advertorial dan sebagainya. Brown dianggap sebagai editor yang justru “lebih dekat” dengan orang pemasaran daripada dengan wartawan-wartawannya.
Padahal The New Yorker adalah majalah dengan tradisi menjaga pagar api antara editorial
 dan iklan. Iklan tak salah. Tapi iklan harus dibedakan dari berita. 
Ibarat pemisahan negara dan agama. Bila campur aduk, komersialisme bisa 
merusak jurnalisme. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Dampak 
ambrolnya pagar api, pembaca kurang percaya dengan berita yang 
dibacanya. Kekaburan ini terlihat jelas dari apa yang disebut sebagai 
advertorial –singkatan dari advertisement dan editorial.
Bagi Adler, advertorial bukan kompromi kecil. Advertorial Tina Brown sengaja dibuat untuk mengundang mata pembaca untuk membaca. Advertorial dibuat dengan desain dan jenis huruf sedemikian rupa sehingga pembaca mengira artikel itu bagian dari berita. Padahal advertorial adalah iklan.
Kekuatan The New Yorker
 di bawah kepemimpinan Harold Ross dan William Shawn adalah kemampuan 
untuk hanya diatur dan ditentukan oleh rasa ingin tahu dan semangat dari
 para redaktur, penulis dan artis, tanpa khawatir dengan apa yang 
disukai pembaca, apalagi biro iklan dan pemasang iklan.
Tina Brown tak setia pada prinsip pagar api. Ben Yagoda dalam About Town menyebut Brown campur aduk konsep The New Yorker dengan hal lain yang tak jelas. Ironisnya, dengan segala pergantian itu, Brown tak berhasil menaikkan sirkulasi The New Yorker. Pendapatan datar-datar saja. Newhouse bahkan rugi terus karena The New Yorker.
Antara 1985 dan 1997, Conde Nast menanggung kerugian US$ 150 juta buat The New Yorker.
 Angka yang relatif kecil buat Conde Nast dengan rata-rata keuntungan 
US$ 4 miliar setiap tahun. Ben Yagoda belum bisa menyimpulkan mengapa The New Yorker
 senantiasa rugi.  Mungkinkah karena pasar yang berubah? Orang makin tak
 perlu bacaan panjang? Mungkinkah karena persaingan dengan majalah lain?
 Atau televisi yang menggaet persentase iklan terbesar di antara semua 
media?
Pada 1998, secara mengejutkan Tina Brown
 mengundurkan diri. Alasan resmi, dia hendak mendirikan majalah lain. 
Tapi alasan itu sulit dimengerti. Mungkinkah Brown capek dikritik 
kiri-kanan? Mungkinkah dia lelah dengan kesendiriannya? Mungkin dia 
merasa tak dimengerti? Penggantinya adalah David Remnick, koresponden The New Yorker di Rusia, yang dulu direkrut Robert Gottlieb.
Proses pergantian berjalan mulus. Mungkin karena Remnick termasuk orang dalam, pernah memenangi hadiah Pulitzer untuk buku Lenin’s Tomb: The Last Days of the Soviet Empire.
 Dia juga dikenal sebagai penulis profile yang hebat. Pekerjaan utama 
Remnick memoles ulang pekerjaan Brown, termasuk menghapus foto seronok, foto kontributor dan merapikan majalah itu lagi. Perwajahan The New Yorker
 jadi lebih dingin ketika Remnick mengambil alih kemudi ruang redaksi. 
Walau Remnick merekrut beberapa wartawan papan atas, termasuk Seymour 
Hersh, mantan wartawan The New York Times yang spesialis 
investigasi, mungkin terlalu awal buat Yagoda dan penulis lain untuk 
menilai prestasi Remnick. Hersh adalah wartawan Amerika yang membongkar 
pembunuhan penduduk dusun My Lai di Vietnam oleh prajurit Amerika pada 1968. 
Jelas, Newhouse ingin The New Yorker tetap jadi salah satu majalah terkemuka Amerika. Newhouse ingin majalah itu jadi kebanggaan Conde Nast. Persoalannya, sampai kapan Newhouse bisa bertahan? Seberapa cepat Remnick mampu menaikkan mutu The New Yorker di tengah persaingan yang makin ketat? Bagaimana Remnick memimpin The New Yorker bersamaan dengan kemunculan Microsoft, Netscape, Yahoo dan sebagainya?
DUABELAS TAHUN SETELAH MEMBACA The New Yorker secara sembunyi-sembunyi di Salatiga, pada satu hari yang dingin, ketika salju mulai mencair, di sebuah ruang diskusi Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Cambridge, saya hadir dalam diskusi soal investigasi dalam jurnalisme. Pembicaranya Raymond Bonner, wartawan The New Yorker, yang bikin laporan Indonesia pada 1988.
Ada
 sekitar 30 orang dalam ruangan itu. Ada beberapa wajah Asia. Kebanyakan
 orang kulit putih. Hanya beberapa menit, Bonner masuk dan kemudian 
duduk.
“Lho, orangnya kok kecil?” pikir saya.
Dalam sampul buku karangan Bonner Waltzing with a Dictator soal Ferdinand Marcos, foto Bonner
 menggambarkan wajah laki-laki berwajah keras, rambutnya agak 
panjang-belah pinggir-agak berantakan, rahang kuat-segiempat dan bibir 
berkerut. Saya bayangkan orangnya pasti tinggi besar.
Bonner
 di ruang seminar itu ternyata kecil untuk ukuran Amerika, mungkin hanya
 165 centimeter. Bicaranya cepat, ramah, suka tertawa, 
menggerak-gerakkan tangan, mengatur rambut, kelihatan selalu berusaha 
meyakinkan orang –mengingatkan saya pada makelar emas partikelir yang 
bekerja di sepanjang jalan di dekat toko ayah saya di Jember.
Saat
 itu musim semi 2000. Seusai diskusi saya memperkenalkan diri. Bonner 
kelihatan senang mengetahui di sudut Amerika ini ada wartawan dari 
Jakarta, duduk dan mendengarkan paparannya.
Saya ingat, dia bertanya, “Apa pendapat Anda tentang Gus Dur? Dia orang baik, bukan?”
Pada liputannya 1988, Bonner mewawancarai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang dikenalnya sebagai satu dari dua cendekiawan paling terkemuka di Indonesia. Satunya lagi Nurcholish Madjid.
Bonner 
kelihatan tertarik bicara soal ulama yang kemudian jadi presiden keempat
 Indonesia itu. Mungkin Bonner tak membayangkan Gus Dur bisa jadi 
presiden.
“Saya punya beberapa kenalan di Indonesia. Satu di antaranya adalah wartawan. Aduh siapa namanya ya?” ujar Bonner.
“Mungkin ...” jawab saya.
“Jangan, jangan dijawab, saya ingat, saya ingat, saya juga ketemu istrinya yang juga editor. Ini wartawan terkenal ... namanya, namanya, ... Mohamad.”
“Goenawan Mohamad,” kata saya.
Sehari
 kemudian kami ikut jamuan makan malam yang diadakan Nieman Foundation 
di Faculty Club milik Universitas Harvard. Istri Bonner, Jane Perlez, 
koresponden The New York Times, memberikan keynote speech tentang 
suka-duka liputan luar negeri.
Saya ceritakan kepada Raymond Bonner bagaimana narasi “New Order” dari The New Yorker
 itu saya dapatkan di Salatiga. Naskah itu dibendel rapi, tersebar 
merata di kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang lagi menjamur di 
Jogjakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta dan mungkin kota-kota lain.
“Artikel itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia,” kata saya. Narasi tersebut ikut mengompori gerakan mahasiswa di Jawa.
Bonner sedikit kaget dengan adanya terjemahan itu. Dia bilang dia senang dan tertarik untuk mendapatkan satu fotokopi. Saya kira, banyak mahasiswa lebih bisa mengerti politik Jakarta dengan memandang cermin yang dibuat dari New York itu.
Malam
 itu, ketika berjalan kaki pulang, saya berpikir “New Order” mungkin tak
 mengubah dunia sebanyak “Hiroshima” karya John Hersey atau “Silent 
Spring” karya Rachel Carson. Bonner tak menulis soal bom nuklir atau 
bahaya pestisida. Bonner menulis soal seorang kepala negara, nun jauh di
 seberang lautan, yang sedang di puncak kejayaan. Ketika anak-anak 
kepala negara itu mulai merambah dunia bisnis, merampok negaranya 
sendiri, ketika masalah Timor Timur kelihatannya mulai sukses di tangan 
Indonesia.
Sejarah ternyata terbalik. Tiga tahun 
sesudah laporan itu ditulis, tentara-tentara Indonesia yang tak 
berdisiplin membantai ratusan orang Timor di kota Dili. Ada wartawan 
Inggris merekam dalam video. Kebengisan dan kekejaman itu menyebar ke 
seluruh dunia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menganggap peristiwa Dili 
pada November 1991 itu sebagai titik balik diplomasi internasional 
Indonesia.
Tapi sang sultan Jawa tetap percaya 
diri. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap dibuatnya sebagai 
stempel saja. Sepuluh tahun setelah laporan itu, Presiden Soeharto kembali
 merekayasa sidang MPR agar dia terpilih lagi. Padahal badai krisis 
ekonomi menerjang deras. Ekonomi Indonesia gemetar. Rupiah ketakutan. 
Kali ini tak ada Sudharmono, tak ada Benny Moerdani. Wakil presiden yang
 ditunjuknya, B.J. Habibie, seorang insinyur cerdas yang lucu, yang 
belasan tahun membantunya.
Soeharto hanya bertahan dua bulan. Pada Mei 1998 dia turun tahta dengan kesedihan dan malu. The New Yorker, sedikit banyak, ikut merintis tumbangnya diktator ini. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar