Antropologi berasal dari kata Yunani Anthropos yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos
yang berarti ilmu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari
ketertarikan atau keheranan ilmuan atau orang-orang Eropa yang melihat
ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda (budaya primitive)
dari apa yang ada di Eropa.
Obyek Antropolgi itu sendiri adalah manusia namun dalam pengertian manusia sebagai individu, dan hal inilah yang membedakannya dengan Sosiologi yang oyeknya adalah manusia sebagai masyarakat namun umumnya tetap membahas tentang manusia.
Setiap ilmu pengetahuan, pastinya mengalami perkembangan. Demikian pula dengan ilmu Antropologi. Banyak pakar atau ahli dalam bidang ini mengelompokkan perkembangan Antropologi hingga kedalam beberapa fase. Namun disini kita mengelompokkan fase perkembangan Antropologi berdasarkan seorang Guru Besar negeri kita sendiri yaitu Prof. Koentjaraningrat. Beliau mengelompokkan fase Antropologi menjadi 4 (empat), dimana:
Fase pertama, yaitu kurang dari tahun 1800. diawali ketika orang-orang eropa mulai menjelajah benua asia, afrika dan amerika. Pada tahap ini dimulai cerita dan kisah yang disampaikan oleh para musafir, missionaries, pejabat-pejabat pemerintahan dan pelaut tentang kebudayaan masyarakat diluar Eropa. Kisah ini disebut etnograph.
Fase kedua, sekitar pertengahan abad ke-19. fase ini dimulai dari keinginan menyatukan bahan-bahan etnograph menjadi keterangan etnograpi yang didasari oleh cara berpikir analogi masyarakat dari berpikir primitif sampai ke cara berpikir tertinggi. Fase ini ilmu etnograpi sudah menjadi ilmu antropologi walau masih bersifat akademikal.
Fase ketiga, permulaan abad 20. fase ini ilmu etnograpi sudah menjadi cara praktis dengan tujuan untuk mempelajari masyarakat diluar untuk kepentingan colonial dalam rangka memantapkan proses kolonialisasi.
Fase keempat, setelah tahun 1930. pada fase ini sudah mengalami perkembangan yang luas baik dalam bertambahnya bahan-bahan pengetahuan ataupun dalam metodenya. Pada fase ini antropologi sudah berdifat praktis dan akademik.
Apa Etnograpi itu? Yaitu berupa gambaran lukisan dan rumusan mengenai suku bangsa tertentu. Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut Etnologi.
Dalam mengumpulkan data dalam ilmu Etnologi dikenal dengan 3 (tiga) metode, yaitu:
Metode pertama, yaitu Observasi Partisipan. Suatu metode yang digunakan untuk mendapatkan data-data obyektif tentang suatu suku bangsa dengan cara sipengamat terlibat langsung dengan obyek yang jadi pengamatannya (obyek penelitian) atau dengan kata lain menjadi bagian dari apa yang diamatinya itu. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu tidak adanya batasan waktu yang pasti.
Metode kedua, yaitu interview. Yaitu metode wawancara Tanya jawab untuk mengumpulkan data-data.
Metode ketiga, yaitu dokumentasi. Mendapatkan data-data dengan mengumpulkan poto-poto, tulisan-tulisan dari suku bangsa yang sedang diteliti atau diamati.
Dalam mendapatkan data, kajian etnograpi memiliki dua pendekatan. Pendekatan yang pertama yaitu penelitian dilakukan pada suatu tempat dan waktu tertentu dengan menggunakan Observasi Partisipan. Ini sesuai digunakan pada masyarakat yang sederhana. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah Pendekatan Sinkronik dimana dalam pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui dan mendalami obyek yang diteliti dengan cara melakukan penelitian yang berulang-ulang pada tempat yang sama dan waktu yang berbeda. Pendekatan ini cocok untuk dilakukan pada masyarakat perkotaan.
Tulisan saya diatas bersumber dari catatan pribadi sekolah saya sewaktu SMA dulu yang saya catat dalam sebuah buku sekolah. Tujuan saya menulis ini adalah untuk mengingat kembali akan pelajaran semasa SMA dulu dan juga mungkin sebagai bahan untuk membantu siswa-siswi SMA sekarang ini yang memiliki mata pelajaran Antropologi disekolahnya. Sedangkan umumnya adalah sebagai konsumsi pengetahuan untuk kita bersama.
Obyek Antropolgi itu sendiri adalah manusia namun dalam pengertian manusia sebagai individu, dan hal inilah yang membedakannya dengan Sosiologi yang oyeknya adalah manusia sebagai masyarakat namun umumnya tetap membahas tentang manusia.
Setiap ilmu pengetahuan, pastinya mengalami perkembangan. Demikian pula dengan ilmu Antropologi. Banyak pakar atau ahli dalam bidang ini mengelompokkan perkembangan Antropologi hingga kedalam beberapa fase. Namun disini kita mengelompokkan fase perkembangan Antropologi berdasarkan seorang Guru Besar negeri kita sendiri yaitu Prof. Koentjaraningrat. Beliau mengelompokkan fase Antropologi menjadi 4 (empat), dimana:
Fase pertama, yaitu kurang dari tahun 1800. diawali ketika orang-orang eropa mulai menjelajah benua asia, afrika dan amerika. Pada tahap ini dimulai cerita dan kisah yang disampaikan oleh para musafir, missionaries, pejabat-pejabat pemerintahan dan pelaut tentang kebudayaan masyarakat diluar Eropa. Kisah ini disebut etnograph.
Fase kedua, sekitar pertengahan abad ke-19. fase ini dimulai dari keinginan menyatukan bahan-bahan etnograph menjadi keterangan etnograpi yang didasari oleh cara berpikir analogi masyarakat dari berpikir primitif sampai ke cara berpikir tertinggi. Fase ini ilmu etnograpi sudah menjadi ilmu antropologi walau masih bersifat akademikal.
Fase ketiga, permulaan abad 20. fase ini ilmu etnograpi sudah menjadi cara praktis dengan tujuan untuk mempelajari masyarakat diluar untuk kepentingan colonial dalam rangka memantapkan proses kolonialisasi.
Fase keempat, setelah tahun 1930. pada fase ini sudah mengalami perkembangan yang luas baik dalam bertambahnya bahan-bahan pengetahuan ataupun dalam metodenya. Pada fase ini antropologi sudah berdifat praktis dan akademik.
Apa Etnograpi itu? Yaitu berupa gambaran lukisan dan rumusan mengenai suku bangsa tertentu. Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut Etnologi.
Dalam mengumpulkan data dalam ilmu Etnologi dikenal dengan 3 (tiga) metode, yaitu:
Metode pertama, yaitu Observasi Partisipan. Suatu metode yang digunakan untuk mendapatkan data-data obyektif tentang suatu suku bangsa dengan cara sipengamat terlibat langsung dengan obyek yang jadi pengamatannya (obyek penelitian) atau dengan kata lain menjadi bagian dari apa yang diamatinya itu. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu tidak adanya batasan waktu yang pasti.
Metode kedua, yaitu interview. Yaitu metode wawancara Tanya jawab untuk mengumpulkan data-data.
Metode ketiga, yaitu dokumentasi. Mendapatkan data-data dengan mengumpulkan poto-poto, tulisan-tulisan dari suku bangsa yang sedang diteliti atau diamati.
Dalam mendapatkan data, kajian etnograpi memiliki dua pendekatan. Pendekatan yang pertama yaitu penelitian dilakukan pada suatu tempat dan waktu tertentu dengan menggunakan Observasi Partisipan. Ini sesuai digunakan pada masyarakat yang sederhana. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah Pendekatan Sinkronik dimana dalam pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui dan mendalami obyek yang diteliti dengan cara melakukan penelitian yang berulang-ulang pada tempat yang sama dan waktu yang berbeda. Pendekatan ini cocok untuk dilakukan pada masyarakat perkotaan.
Tulisan saya diatas bersumber dari catatan pribadi sekolah saya sewaktu SMA dulu yang saya catat dalam sebuah buku sekolah. Tujuan saya menulis ini adalah untuk mengingat kembali akan pelajaran semasa SMA dulu dan juga mungkin sebagai bahan untuk membantu siswa-siswi SMA sekarang ini yang memiliki mata pelajaran Antropologi disekolahnya. Sedangkan umumnya adalah sebagai konsumsi pengetahuan untuk kita bersama.
Beda Antara Religi dan Magic
Dalam kajian Antropologi baik itu yang meneliti kebudayaan primitive maupun modern tentunya tidak terlepas dari adanya religi dan magic (lihat postingan saya terdahulu tentang sistim sosial budaya yang jumlahnya ada tujuh, salah satu diantaranya adalah sistem kepercayaan).
Sistem kepercayaan kalau dijabarkan dalam arti luas bisa disebut religi atau agama dimana yang mendasarinya adalah emosi manusia terhadap kekuatan-kekuatan adikodrati yang diluar akal serta jangkauan manusia itu sendiri. Lalu apa kaitannya dengan judul diatas?
Religi atau agama atau kepercayaan, baik itu di kebudayaan primitive maupun modern adalah suatu hal yang ada atau mutlak adanya. Dengan adanya agama, manusia menyembah sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak bisa dilawan serta tidak bisa deikendalikan, suatu kekuatan yang (dianggap) lebih tinggi darinya. Maka muncullah istilah Dewa, Tuhan atau sebutan-sebutan lainnya yang mendasari religi tersebut. Manusia jadi tidak berkutik terhadap kekuatan-kekuatan religi ini, dan hal inilah yang menyebabkan manusia jadi takluk dan kemudian menyembahnya dan menjadikannya sesuatu yang di-Tuhan-kan atau di-Dewa-kan. Suatu kekuatan adikodrati yang luar biasa. Manusia tidak bisa apa-apa dihadapan kekuatan yang diyakini sebagai religi ini.
Sedangkan magic, juga merupakan kekuatan supranatural yang merupakan suatu bentuk kekuatan yang luar biasa diluar akal dan kemampuan manusia itu sendiri. Namun dengan magik justru manusia tidak takluk. Akan tetapi mempergunakannya (atau mengendalikannya) sesuai keinginan manusia itu sendri. Dalam istilah magic, kita mengenal istilah magic putih dan magic hitam. Keduanya memakai atau mengendalikan kekuatan supranatural sesuai kehendak manusia itu sendiri. Sehingga dalam ruang lingkup magic, kita mengenal istilah sihir, dukun, paranormal, voodoo, jin, setan serta mahluk tak kasat mata lainnya, yang kesemuanya itu bisa “ditaklukkan” manusia untuk melayani keinginan manusia itu sendiri.
Perbedaan mendasar terletak dalam sifat manusia pada waktu sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerah diri kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; menyarahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembah itu. Dalam hal ini manusia biasanya dihinggapi oleh suatu emosi keagamaan.
Sebaliknya, dalam magic manusia bersikap lain sama sekali. Ia berusaha menaklukkan kekuatan-kekutan tinggi dan gaib agar agar dapat dikendalikan sesuai keinginan.
Jadi kesimpulan tulisan ringkas ini beda antara religi dan magic jika disederhanakan adalah kalau religi manusia tunduk dan takluk terhadap kekuatan supranatural atau adikodrati tersebut. Sebaliknya justru magic, dimana kekuatan supranatural itulah yang takluk pada manusia itu sendiri, sehingga manusia bebas untuk mempergunakan kekuatan supranatural sekehendak hatinya.
Sistem kepercayaan kalau dijabarkan dalam arti luas bisa disebut religi atau agama dimana yang mendasarinya adalah emosi manusia terhadap kekuatan-kekuatan adikodrati yang diluar akal serta jangkauan manusia itu sendiri. Lalu apa kaitannya dengan judul diatas?
Religi atau agama atau kepercayaan, baik itu di kebudayaan primitive maupun modern adalah suatu hal yang ada atau mutlak adanya. Dengan adanya agama, manusia menyembah sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak bisa dilawan serta tidak bisa deikendalikan, suatu kekuatan yang (dianggap) lebih tinggi darinya. Maka muncullah istilah Dewa, Tuhan atau sebutan-sebutan lainnya yang mendasari religi tersebut. Manusia jadi tidak berkutik terhadap kekuatan-kekuatan religi ini, dan hal inilah yang menyebabkan manusia jadi takluk dan kemudian menyembahnya dan menjadikannya sesuatu yang di-Tuhan-kan atau di-Dewa-kan. Suatu kekuatan adikodrati yang luar biasa. Manusia tidak bisa apa-apa dihadapan kekuatan yang diyakini sebagai religi ini.
Sedangkan magic, juga merupakan kekuatan supranatural yang merupakan suatu bentuk kekuatan yang luar biasa diluar akal dan kemampuan manusia itu sendiri. Namun dengan magik justru manusia tidak takluk. Akan tetapi mempergunakannya (atau mengendalikannya) sesuai keinginan manusia itu sendri. Dalam istilah magic, kita mengenal istilah magic putih dan magic hitam. Keduanya memakai atau mengendalikan kekuatan supranatural sesuai kehendak manusia itu sendiri. Sehingga dalam ruang lingkup magic, kita mengenal istilah sihir, dukun, paranormal, voodoo, jin, setan serta mahluk tak kasat mata lainnya, yang kesemuanya itu bisa “ditaklukkan” manusia untuk melayani keinginan manusia itu sendiri.
Perbedaan mendasar terletak dalam sifat manusia pada waktu sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerah diri kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; menyarahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembah itu. Dalam hal ini manusia biasanya dihinggapi oleh suatu emosi keagamaan.
Sebaliknya, dalam magic manusia bersikap lain sama sekali. Ia berusaha menaklukkan kekuatan-kekutan tinggi dan gaib agar agar dapat dikendalikan sesuai keinginan.
Jadi kesimpulan tulisan ringkas ini beda antara religi dan magic jika disederhanakan adalah kalau religi manusia tunduk dan takluk terhadap kekuatan supranatural atau adikodrati tersebut. Sebaliknya justru magic, dimana kekuatan supranatural itulah yang takluk pada manusia itu sendiri, sehingga manusia bebas untuk mempergunakan kekuatan supranatural sekehendak hatinya.
Pada kesempatan ini saya akan melanjutkan tulisan beberapa waktu yang lalu dalam label antropologi, tepatnya tentang antropologi dan perkembangannya. Maka inilah waktu yang tepat untuk melanjutkan posting tentang Sistem Sosial Budaya. Sistim Sosial Budaya.
Apakah sebenarnya sistem sosial budaya itu? Para ahli dalam bidang ini
mengemukakan bahwa yang dimaksud sistim sosial budaya ini adalah suatu
kesatuan dimana terjadi proses penyesuaian diantara unsur-unsur budaya
yang saling berbeda sehingga tercapai keserasian fungsi.
Sistim
ini memiliki unsur yang oleh para ahli hingga tulisan ini saya buat
“hanya” memiliki 7 (Tujuh) Unsur Sistem Sosial Budaya. Ketujuh unsur ini
disebut juga Culural Universal. Kenapa universal? Hal ini dikarenakan
bahwa unsur budaya ini ada pada semua masyarakat dunia ini dimanapun dan
kapan pun. Dan unsur-unsur tersebut adalah :
Unsur pertama, Sistim Kepercayaan.
Unsur ini diawali oleh keyakinan yang berdasarkan emosi suatu manusia.
Dalam unsur ini telah terjadi perdebatan antar para ahli. Edward B. Taylor,
misalnya, kepercayaan manusia berwal dari Teori Animisme, yaitu
kepercayaan kepada roh nenek moyang. Kemudian pengemangannya adalah dari
animisme menuju dinamisme menuju poluteisme dan kemudian barulah yang
terakhir monoteisme.
Hal ini berbeda dengan Teori Pra-animisme yang dikemukakan oleh R. Maret, yang menyatakan bahawa keyakinan pertama manusia bukan animisme, akan tetapi dinamisme.
Beberapa
ahli lain juga mengemukakan teori yang berbeda dari kedua ahli diatas
yaitu disebut sebagai Teori Tolenisme, yaitu keyakinan awal manusia
bukan animisme atau dinamisme akan tetapi Tolenisme yang dianggap
merupakan benda atau mahluk hidup lain yang merupakan asal manusia.
Misalnya Api, Kerbau dan lain sebagainya.
Unsur kedua. Kekerabatan dan Organisasi Sosial.
Sistim kekerabatan merupakan unit-unit sosial yang terdiri dari
beberapa keluarga yang terikat oleh pertalian darah atau perkawinan.
Sedangkan organisasi sosial bisa dijabarkan dengan dua cara yaitu jika
secara modern diartikan keseluruhan sistem sosial yang bersifat
langgeng/ kekal, memiliki identitas kolektif dan mempunyai
peraturan-peraturan misalnya ADART. Sedangkan secara tradisional dijabarkan sebagai kesatuan sistem sosial dalam masyarakat yang diatur oleh adat istiadat.
Unsur yang ketiga. Sistim mata pencaharian.
Pada masyarakat tradisional pata pencaharian antara lain : berburu,
meramu, menangkap ikan, beternak, bercocoktanam dan lain sebagainya.
Unsur yang keempat. Peralatan dan Perlengkapan Hidup.
Peralatan diciptakan oleh manusia yang mendesak demi keselamatan
manusia dalam menghadapi alam. Pada masyarakat sederhana sistim
peralatan itu antara lain adalah: alat produksi dan senjata, wadah
makanan dan minuman, alat menyalakan api, pempat perlindungan.
Unsur yang kelima. Bahasa.
Merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia, yang berfungsi
antara lain sebagai alat ekspresi, integrasi, komunikasi, adaptasi dan
kontrol sosial.
Unsur yang keenam. Kesenian. Merupakan ekspresi dari hasrat manusia tentang keindahan yang dapat dilihat dan didengar oleh mata dan telinga.
Unsur yang ketujuh. Sistem pengetahuan.
Pada masyarakat sederhana paling tidak memiliki pengetahuan tentang
alam sekitar, flora dan fauna, zat bahan-bahan mentah, tubuh manusia dan
tingkah laku manusia, ruang lingkup dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar