JAKARTA -- Lebih dari seratus orang hadir di Taman Ismail Marzuki Selasa ini untuk protes penyitaan dan pembakaran ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan ujung tombak kejaksaan-kejaksaan negeri, di seluruh Indonesia.
Franz Magnis Suseno, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengatakan kepada hadirin bahwa tindakan membakar buku adalah perbuatan barbar, perbuatan yang anti peradaban. “Barbarisme ini jangan dibiarkan tanpa ditantang,” kata Suseno.
Dibakarnya buku-buku pelajaran sejarah, menurut Suseno, merusak upaya dibangunnya suatu pemahaman akan “bangsa Indonesia” dengan benar, tanpa kebohongan. Nation-building, mengutip almarhum Presiden Soekarno, takkan jalan baik bila ingatan akan sejarah dimanipulasi. “Kalau sejarah itu bohong, kebangsaan itu akan terganggu serius,” kata Suseno.
Novelis
Ayu Utami (separuh terlihat), arsitek Marco Kusumawijaya, pastor Franz
Magnis Suseno, politikus Ganjar Pranowo, penerbit Setia Darma Madjid dan
M. Ridha Saleh dari Komnas HAM protes pembakaran buku-buku sekolah.
Suseno mengatakan penulisan sejarah memang ada ambiguitas namun orang muda harus belajar. “Apakah PKI terlibat, itu belum jelas. Namun yang objektif, nama Gerakan 30 September adalah nama yang dipilih oleh gerakan (Letnan Kolonel Untung) itu sendiri,” kata Suseno.
Salah satu alasan pelarangan dan pembakaran buku adalah tak dicantumkannya kata "PKI" dalam idiom "G30S/PKI." Gerakan 30 September adalah penculikan dan pembunuhan beberapa jenderal Angkatan Darat oleh Letkol Untung dan kawan-kawan pada dini hari 1 Oktober 1965. Rencananya, mereka dibawa ke Presiden Soekarno dengan tuduhan hendak melakukan kudeta. Partai Komunis Indonesia dituduh secara luas terlibat dalam gerakan ini. Ia lantas jadi perdebatan ketika bukti-bukti lain muncul, yang mempertanyakan "sejarah" resmi versi Orde Baru.
Pertemuan dilakukan dalam satu ruangan luas, yang biasa dipakai untuk pertunjukan sandiwara. Ada satu meja panel dimana duduk Suseno, novelis Ayu Utami, politikus Ganjar Pranowo (sekretaris Fraksi PDI-Perjuangan DPR), penerbit Setia Darma Madjid (ketua Ikatan Penerbit Buku Indonesia), arsitek Marco Kusumawijaya (ketua Dewan Kesenian Jakarta), serta M. Ridha Saleh dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Dekat panel ada satu layar lebar menayangkan gambar-gambar rekaman SCTV tentang pembakaran buku di Semarang, Samarinda dan sebagainya. SCTV merekam para pegawai negeri merobek-robek buku sejarah. Ada yang dihancurkan lewat mesin penghancur kertas. Ada yang diletakkan dalam tong kosong, dibelah separuh, lalu disulut dengan api. Ada juga keterangan pers yang direkam dan disiarkan SCTV. Kebanyakan para pembakar berseragam coklat muda, seragam kejaksaan Indonesia.
Penerbit Setia Darma Madjid menyatakan kekesalannya pada pembakaran ini. Madjid mengatakan larangan buku-buku, yang tak mencantumkan kata “G30S/PKI,” baru muncul pada Maret lalu oleh Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh. Pada bulan April, organisasinya mengirim surat kepada Jaksa Agung namun tak ditanggapi karena Presiden Yudhoyono lebih dulu memberhentikan Abdul Rachman Saleh.
Pada bulan Juni, organisasinya kembali mengirim surat, kali ini Jaksa Agung Hendarman Supandji, minta agar keputusan itu diralat. Hal yang dianggap memberatkan, bisa saja, ditempeli kertas kecil, atau kalau memang tak tertolong, para penerbit bisa menyimpannya di gudang. Madjid mengatakan perusahaan-perusahaan bisa menyimpan di gudang masing-masing.
Madjid mengatakan buku-buku itu ditulis dan diterbitkan oleh sejarawan dan perusahaan, yang jelas dan bertanggungjawab terhadap karya mereka. Buku-buku itu dibuat juga berdasarkan kurikulum 2004. “Pemerintah juga bertanggungjawab karena kurikulum itu tak mengatakan harus menyebut G30S/PKI,” katanya.
“Penerbit sekarang ini digerebek kayak bandar narkoba, ditayangkan di TV. Kesannya penerbit ini insan yang membelokkan sejarah,” kata Madjid.
Pertemuan dibuka oleh Marco Kusumawijaya, ketua Dewan Kesenian Jakarta, yang menyambut kedatangan cendekiawan, wartawan, seniman dan semua orang dalam protes terhadap pembakaran buku-buku pelajaran sejarah. Marco menyerukan orang-orang yang prihatin dengan pembakaran buku ini untuk bergerak dan menggunakan jalur-jalur hukum mencegahnya. DI layar juga ditunjukkan gambar-gambar ketika rezim Adolf Hitler membakar buku-buku di Berlin.
Pertemuan ini didahului oleh dibuatnya satu pernyataan protes pembakaran buku, yang ditandatangani oleh puluhan orang, antara lain, mantan presiden Abdurrahman Wahid, penulis Goenawan Mohamad maupun orang-orang yang bicara dalam pertemuan.
Di deretan pengunjung hadir orang-orang yang ikut mendukung petisi agar pemerintahan Yudhoyono minta maaf atas tindakan pembakaran buku ini. Di antaranya ada Daniel Dhakidae (penulis buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru), Hamid Basyaib (Freedom Institute), Hilmar Farid (sejarawan, Jaringan Kerja Budaya), Ariel Heryanto (kolumnis Kompas, dosen Universitas Melbourne) dan lainnya.
Ariel Heryanto didaulat bicara. Dia mengatakan pembakaran ini merupakan simbol bahwa reformasi sebenarnya "belum mulai." Mungkin hanya ilusi bila orang-orang beranggap reformasi sistem politik di Indonesia sudah terjadi sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Dia juga bilang ada teori bahwa orang-orang ini, yang membakar buku, sudah baca sejarah rezim komunis Tiongkok. Rezim itu membakar banyak sekali buku, bukan hanya buku pelajaran tapi juga sastra dan lainnya. “Jangan-jangan yang membakar ini (di Indonesia) terlalu kagum pada komunis?” kata Ariel, tersenyum.
Ridha Saleh mengatakan pembakaran buku ini, dimana pemerintah menggerebek sekolah-sekolah guna mencari buku sejarah, adalah teror terhadap dunia pendidikan di Indonesia. “Negara telah melanggar hak orang untuk mendapat informasi yang benar,” kata Ridha.
Inilah peristiwa yang pertama kali terjadi di Indonesia dimana buku pelajaran sekolah dirampas dan dibakar negara. Dulu juga terjadi pembakaran, namun bukan buku pelajaran.
Ganjar Pranowo menilai pembakaran ini adalah “kebodohan pemerintah.” Tiap hari, politisi di Dewan Perwakilan Rakyat mendorong kenaikan anggaran pendidikan. Tapi di sisi lain, buku-buku pendidikan dibakar. “Ini tindakan yang bodoh,” kata Pranowo.
Laporan ini saya buat sambil saya duduk menikmati pembicaraan orang-orang di Taman Ismail Marzuki. Saya sendiri termasuk orang yang tak setuju pembakaran buku.
Gus Dur Kecam Pembakaran Buku
Pernyataan Sikap atas Pembakaran Buku
Dukungan Mengalir, Melawan Pembakaran Buku
Arif Harsana dari Vorstand South East Asia Information
Sonny Mumbunan dari Universität Leipzig
Aliansi Jurnalis Independen Protes Pembakaran
Kritik Arya Gunawan terhadap Pernyataan Sikap
Wandy Tuturoong Menjawab Arya Gunawan
Linda Christanty Menjawab Arya Gunawan
Jane Pangemanan dari Universitas Sam Ratulangi
Arya Gunawan Menjawab Linda Christanty
Arya Gunawan soal Nurmahmudi Ismail
Aboeprijadi Santoso Menanggapi Arya Gunawan
Putu Oka Mohon Memberikan Fakta
Goenawan Mohamad soal Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Menggugat Tuduhan Bakar Buku
Arya Gunawan Menjawab Bukti Bakar Buku
Roysepta Abimanyu soal Film Lekra
Arya Gunawan dan Prahara Budaya
Coen Husain Pontoh dari New York
Budi Setiyono Memberi Referensi soal Lekra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar