Kaos hitam oblong dengan gambar Batman lagi memeluk Robin yang kupakai, 
sudah meluntur.  Celana pendek tanpa kantong, membuatku menyelipkan 
selembar uang bernilai 10 ribu rupiah itu di celana dalam. Aku tidak 
pernah melepas gelang saat mandi, itulah mengapa tidak ada bedanya 
antara warna gelang yang kusam, dengan warna kulit tanganku yang belang.
 Dalam penampilan yang seperti ini, aku berdiri di depan pagar yang 
tinggi, menekan bel milik istana megah sang kekasih. Motor produksi Cina
 yang lampu sen kirinya rusak itu, kuparkir saja di pinggir jalan. 
Persis di samping pot raksasa yang terlihat lebih tertata rapi ketimbang
 rambutku yang membangkang. “Ting nong.. Ting nong..” Begitu suara 
bel-nya.
Ini pertama kalinya aku datang ke 
rumah Anis, kekasihku yang cantik keturunan Jawa. Aku tahu, penampilanku
 yang seperti ini akan menjadi fenomena. Tetapi apa yang bisa kuperbuat,
 bajuku yang lain masih basah karena terendam banjir yang melanda kampungku. 
Tidak ada maksud untuk meminta sumbangan. Pacarku memang kaya, tetapi 
rindu yang kurasa jauh lebih kaya raya darinya. Biarlah sekarang aku 
menjadi laki-laki, datang membawa kepalan rindu yang membabi buta.
Tiba-tiba
 sosok pria yang tinggi badannya lebih pendek dariku, datang membukakan 
gerbang. Meski lebih pendek, pria itu tetap terlihat lebih tua. “Cari 
siapa, Mas?” tanya-nya sopan. Bagus! Untunglah aku tidak dikira 
meminta-minta.
“Cari Anis, Mas. Anis-nya ada?” 
Begitu kataku, membalasnya dengan sama sopan. Aku tersenyum lebar, 
sambil merapi-rapikan rambut. Percuma, rambutku tetap terlihat seperti 
baru keluar penjara.
“Oh, Mbak Anis. Ada, ada. 
Silahkan masuk, Mas.” Ujarnya, mempersilahkanku masuk. Aku langsung 
mengajak motor sipitku itu masuk, ikut bersamaku. Pria itu, sepertinya 
tukang kebun. Karena kulihat ada selang yang panjang tergeletak pasrah 
memuntahkan airnya. Maka kutinggalkan motorku di pinggir gerbang garasi,
 kemudian aku melangkah menuju teras, mengikuti langkah pria itu.
 “Mau minum apa, Mas?” Pria itu bertanya lagi.
“Ah,
 ga usah repot-repot, Mas. Sirup juga nggak apa-apa kok.” Aku menjawab. 
Seketika suaraku terdengar serak, seperti menahan dahaga akibat tersesat
 di gurun Sahara. Pria itu mengangguk, lalu masuk ke dalam. Untuk 
beberapa saat, aku sendirian.
Saraf Okulomotor 
bekerja dengan baik saat ini. Menggerakan bola mataku ke segala arah. 
Sungguh, pemandangan rumah megah ini sudah terlihat indah meski hanya 
aku baru duduk di teras luar. Berbeda dengan rumahku, yang terlihat di 
depan teras hanyalah Vikki, kucingku yang sudah lama menjanda. Itupun 
beserta “ranjau darat” buatan Vikki yang entah kenapa, aku terus yang 
jadi korbannya. Tertawa geli sendiri jika aku mengingatnya. Di hadapanku
 sekarang, terdapat banyak tanaman-tanaman yang tidak murah. Ditata rapi
 oleh tangan yang teliti, terawat sekali. Melintang ke sebelah kanan, 
aku melihat ada sebuah kandang burung beo. Burung itu berkicau sesekali.
 Sepertinya belum pandai bernyanyi. Beo yang pendiam, persis seperti 
Rangga di “Ada Apa Dengan Cinta.” Burung itu menarik perhatianku. Aku 
berdiri, menghampirinya.
“Rangga, Rangga? 
Krrrr, krrrr…” Kujentikkan jemariku di dekat burung beo itu. “Rangga… 
ada gossip lho. Masih ingat Cinta? Cinta khan sudah menikah. 
Cukuliiiiin….” Sambungku sambil tertawa-tawa sendiri. Akan tetapi 
Rangga, burung beo yang baru saja sembarang kukasih nama itu, tidak 
menggubrisnya. Mungkin dia tersinggung, karena tatap mataku yang tajam 
ini, mirip Nicholas Saputra. Biar saja! Keberadaan burung beo ini cukup 
menghiburku. Mengisi waktuku sambil menanti Anis, kekasihku yang mungkin
 keluar dengan busana terbuka. Hehehehe.
Tiba-tiba
 ada yang batuk. “Uhuk.” Aku tidak mengenal suara batuk siapa itu, yang 
jelas aku tahu batuk itu berasal dari belakangku. Nah, sirup-nya datang.
 Aku menggosok-gosok celanaku, siap memegang gelas dan menenggaknya 
tanpa ampun. “Sebentar ya, Rangga. Nicho minum sirup dulu, nanti kita 
main lagi.” Aku berpamitan pada burung beo. Gila! Namun, setelah aku 
menengok, ternyata bukan sirup yang datang. Tapi,
“Sore,
 Om.” Aku terkejut. Gila! Badan tinggi besar, memakai celana pendek dan 
kaos berkerah putih yang bertuliskan KELUARGA BESAR MABES POLRI, berdiri
 di depanku. Itu ayah Anis. Seketika, aku menyapanya, tidak sempat 
membaca doa.
“SORE!” Jawabnya singkat, tegas. 
Seperti suara pemimpin upacara bendera pusaka di perayaan HUT RI yang 
pertama. “Cari Anis?” Tanya-nya kepadaku lagi, menatap dengan mata 
curiga.
Sial! Cari siapa lagi kalau bukan cari Anis. Dasar tukang tilang! Jika tidak mencari Anis, masa aku disini 
mencari gara-gara. Tidak mungkin pula jika aku menjawabnya, bahwa aku 
sedang mencari sesuap nasi. Namun jika sekarang aku berhadapan dengan 
sosok ayah pacar seperti ini, lebih baik aku mencari tali tambang lalu 
gantung diri. “MAMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…..!” Teriakku dalam hati.
“Iya, cari Anis, Om.” Jawabku singkat, lemah gemulai.
“Teman sekolahnya, Anis?” Tanya-nya lagi.
Sejak
 kemunculannya dengan kaos mengerikan itu, aku sudah mengira bahwa siang
 ini aku akan diguyur hujan pertanyaan. Sungguh aku ingin menjawab bahwa
 aku bukan teroris, tetapi aku takut. Aku takut kalau beliau tahu bahwa 
aku belum punya SIM. Sekarang aku bingung mau jawab apa, karena aku 
bukan teman sekolahnya Anis. Aku pacarnya Anis, pacar sekolahnya. Demi 
cinta monyetku pada Anis, tidak sekalipun aku mengakuinya sebagai teman.
 Meski dihunus pedang, ditodong pistol atau diancam ketapel, tetap aku 
akan mengakui bahwa “Aku adalah pacarnya Anis.”
Sambil meremas-remas bajuku, aku menjawab, “Saya pacarnya Anis, Om. Hehehehe.”
“PACARNYA?!!!!”
 Om itu kaget. Terdengar dari reaksi volume suaranya yang menggelegar. 
Reaksi yang mirip dengan ucapan “SIAP, GRAKKK!!!”
Apa
 jawabanku tadi salah? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.  Matanya 
melotot, memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung aspal. Aku tidak
 bergerak sama sekali. Aku takut tiba-tiba Om itu mengeluarkan Shotgun, 
lalu memasukkan moncongnya ke mulutku. Atau kemungkinan yang paling 
realistis adalah, aku diusir dari rumahnya karena penampilanku mirip 
dengan mantan narapidana.
Karena takut, aku berkata 
terbata-bata : “Baru 3 hari jadian, kok Om. Belum saya apa-apain. Demi 
Tuhan!” Keningku berkeringat. Punggungku seperti terpanggang, mataku 
berair, pipiku merah, hidungku bengkak, bibirku pecah-pecah, rambutku 
belum keramas, bahkan bulu kakiku merinding.
“3 HARI? BELUM KAMU APA-APAIN? EMANG MAU DIAPAIN? AWAS MACAM-MACAM SAMA ANIS! NANTI KAMU SAYA PENJARA!” Ujarnya.
 Seakan
 ketika alam mendengar perkataannya, angin berhembus kencang. Meniup 
daun-daun gugur dan mengoyang-goyangkan pohon beringin. Di belakang Om 
itu, kulihat sirup sudah diletakkan di atas meja. Sungguh, aku ingin 
meminumnya, sebentar. Tenggorokanku semakin kering dibentaknya seperti 
itu. Andai aku boleh mengarang, aku akan menjawab, “PAPA SAYA KETUA KPK!
 AYO, SERAHKAN DAFTAR REKENING OM!” Namun sayang, aku hanyalah anak 
seorang buruh, ibu kasir di tokoh kelontong nya sendiri.
“ASTAGA, 
OM TEGA BENER! YA ENGGAKLAH OM! “ Begitu kataku. Susah payah aku menahan
 kaki yang hendak bergetar-getar. Gempa dasyat mengguncang nyaliku.
Tiba-tiba,
 di waktu yang genting itu, malaikat penyelamat datang. Anis, dengan 
rambutnya yang masih basah, datang. Sambil menyisir-nyisir rambutnya, Anis memanja kepada ayahnya. Begini,
“Eh, eh, eh…. Uda kenalan. Gimana?  Pacarku ganteng, khan?”
Mendengar
 pernyataan itu, seakan seisi Taman Safari muntah-muntah. Sungguh, aku 
tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan ayah Anis, setelah mendengar 
ucapan Anis barusan. Sepertinya tipis kemungkinanku sampai rumah dalam 
keadaan sehat selamat. Kemaluanku pasti mau diborgol, sementara mulutku 
disumpal sepatu ABRI. Sungguh, aku takut sekali. Anis, aduh……… :(
Namun
 situasi mendadak mencengangkan, ketika ayah Anis berkata.. “Iya. 
Ganteng!” Siapa yang tidak terkejut mendengarnya, ternyata ayah Anis 
juga menyimpan rasa padaku, sejak pertama kali berjumpa. #PRAAAKKKK! 
Tidak mungkin begitu! Aku menebaknya sebagai ucap kata yang berfungsi 
menjaga perasaan Anis, anak perempuan kesayangannya, satu-satunya. Meski
 lega, namun aku tetap berhati-hati.
“Anis, mama mana?” Om galak itu, bertanya pada Rini. Sementara aku diacuhkan.
“Di atas. Mau aku panggilin?” Jawab Anis.
“Ya
 Tuhan! Jangan tinggalkan aku sendiri lagi dengannya Anis! Nanti aku 
bisa dimasukkan ke kandang Rangga, burung pendiam itu. Tetaplah disini, 
please, please, please, love and gaul!” Jerit ratapku dalam hati.
“Iya, tolong panggil mama. Kenalkan juga sama pacarmu ini!” Kata Om itu.
Huaaaaaaaaaaaaaaahhhhh….!
 Muncul di kepalaku sosok berkonde, dengan sebuah keris sedang menodong 
ketekku. Matilah aku, matilah aku!
“Siap bos. 
Pasti mau ngomongin tanaman lagi.” Jawab Anis, patuh.  “Tunggu sebentar 
ya, Sayang.” Sambung pesannya terlempar ke telingaku. Anis pun pergi. 
Tinggal kita ber-4 ; Aku, Ayah Anis, Rangga Si burung beo dan segelas 
sirup.
“NAMA KAMU SIAPA? TINGGAL 
DI MANA? ASLI MANA? ITU MOTOR KAMU? SUDAH PUNYA SIM? BAPAK KERJA DIMANA?
 SAMPAI TERJADI APA-APA SAMA ANIS, LIHAT SAJA!”
Begitulah
 berondong peluru tanya yang dilesatkan Om itu tepat di depan jidatku. 
Aku menjawab semua pertanyaan sulit itu, dengan berpura-pura meyakinkan.
 Padahal, sebentar lagi aku ngompol. Ini pelajaran, lain kali jika mau 
ke rumah pacar untuk pertama kalinya, aku harus memakai popok. Aku tahan
 sekuat tenaga rasa kebelet itu. Rasa gugup yang sama jika harus 
berpidato tentang 4 sehat 5 sempurna di hadapan suku kanibal.
“INGAT,  SAYA TIDAK MAU DIA PUNYA PACAR ANAK BERANDALAN MACAM KAMU!” Sambungnya lagi. Tidak lama, Anis dan Ibunya datang.
“Owalaaaaaa, ini toh…” Suasana meramai, sekotak es batu terbelah.
Ibu Anis menunjuk-nunjuk wajahku sambil tertawa. “Siapa namanya?” Sambung 
ibu itu bertanya padaku. Sedangkan ayah Anis, melangkah menuju kandang 
Rangga, mungkin memeriksa kesehatan burung beo.
“Fuad, tante.” Jawabku sopan, tetapi masih gugup.
 “Ooooo, Fuad. Duduk nak, duduk.” Ibu itu mempersilahkanku duduk.
 Anis
 ikut duduk di sebelahku, sedangkan ibu sempat melihat tanaman sebentar,
 lalu pamit masuk ke dalam. Ayah Anis beranjak mendekati motorku. Mati 
aku! Semoga Om itu tidak melihat bahwa kaca spionnya retak. Sesekali ia 
melirik ke arahku dengan tatapan menusuk. Untung bola mataku tidak 
bocor. Namun suasana agak mereda setelah itu. Aku dan Anis dibiarkan 
mengobrol. Padahal aku masih dalam keadaan gugup, meskipun aku berusaha 
menutupinya di depan Anis. Perlahan tapi pasti, kuteguk sirup itu untuk 
menenangkan. Sekitar 10 menit aku dan Anis berbincang-bincang, Om itu 
kembali cari gara-gara.
“Puwat, pinjam motornya!” Tawarnya, namun seakan mengancam.
“Hihihihihihi, emang bisa bawa motor?” Anis yang bodoh itu, malah tertawa geli.
“Aku mau denger suara mesinnya aja, Nis.” Jawab Om itu, pura-pura senyum.
“Boleh, Om.” Aku menyerahkan kunci motorku.
“BRUAAAAAAAAM……..
 BRUAAAAAAM….. BRUAAAAAAAAAAAM……” Gas motorku digeber-geber ala pembalap
 liar yang sedang menguji motornya di bengkel. Tidak lama, mesin 
motornya dimatikan lagi. Om itu menghampiriku, menyerahkan kunci 
motorku. Tatapannya masih sama, tidak berubah. Arti tatap itu 
kemungkinannya hanya dua ;
1.    Om itu membenci penampilanku
2.    Om itu menyimpan rasa padaku.
Setelah
 itu, ayah Anis mengambil selang lalu memilih untuk menyiram tanaman. 
Melihat jarak yang jauh antara aku dan ayah Anis, kemudian aku berbisik…
“Anis, mama kamu asik ya..”
“Iya, mama emang asik.”
“Tapi, papamu galak ya.”
“Hiihihihihihihi..”
 “Kok ketawa? Galak tau!”
“Ituuuuuuuuuuuu,
 Om Wahyu! Dia tukang kebun, tapi uda kayak sodara. Bukan papaku. Papa 
khan lagi tugas, sayang. Galak ya Om Wahyu? Emang gitu, orangnya. 
Hehehehe….”
7 kepiting mendadak 
menstruasi, 5 cacing tanah breakdance, 13 kecoa memakai helm, 6 cicak 
minum baygon dan 34 ikan hiu, memakai behel. Aku? STROKE!!!!
GUUUBRRRRRRAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK………..!!!!