Siapa sih Fuaad Achmad?

Senin, 23 Juli 2012

Proyek PIM yang Menghebohkan


Rencana membangun gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM) ternyata menggegerkan. Proses pembangunannya dianggap merusak tatanan, karena dibangun persis di atas situs bersejarah, dan sekaligus merusaknya. Maka berbagai pihak saling lempar kesalahan, saling tuding. Bahkan masyarakat yang tahu apa-apa juga kena tudingan kesalahan. Mengapa bisa begitu? 
Masterplan





PIM itu sendiri sebenarnya sudah dibuat dan beredar tahun 2005. Menurut rencana PIM sebagai bagian dari Majapahit Park itu dibangun tiga lantai. Majapahit Park adalah proyek ambisius pemerintah untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu, dengan tujuan menyelamatkan situs dan benda- benda cagar budaya di dalamnya dari kerusakan dan menarik kedatangan turis, dan sekaligus sebagai sarana edukatif dan rekreatif.
PIM sendiri nantinya akan berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang disebut Cungkup Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit. Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.
Peletakan batu pertama PIM dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 3 November 2008. Lokasinya di tanah lapang bersebelahan dengan Museum Trowulan yang sejak 1 Januari 2007 diubah namanya menjadi Pusat Informasi Majapahit. Meski dalam perjalanannya ditemukan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno, hal itu tak dihiraukan. Tanah terus digali dan benda bersejarah itu dijebol untuk pembangunan sekitar 50 tiang pancang beton Pusat Informasi Majapahit (PIM). Di sekitarnya, batu bata kuno berukuran besar dan berwarna kehitaman peninggalan zaman Majapahit dibiarkan berserakan.
Bangunan Trowulan Information Center (disebut juga Pusat Informasi Majapahit), yang memakan lahan seluas 2.190 meter persegi dan dirancang oleh arsitek Baskoro Tedjo itu adalah tahap pertama dari keseluruhan proyek senilai Rp 25 miliar, yang direncanakan selesai dalam tiga tahun mendatang. Ironinya, proyek pembangunan itu justru memakan korban situs itu sendiri, bahkan di tahap yang paling awal.
Sampai di sini, geger tak akan meledak kalau saja Harian Kompas tidak memberitakannya awal Januari yang lalu. Pemerintah dituduh melakukan perusakan karena proyek PIM tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak mempunyai kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tak punya studi kelayakan, dan tak melibatkan Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pengemban tugas penelitian di wilayah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal tersebut tidak saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 tentang Benda Cagar Budaya, tetapi juga tak sesuai dengan etika profesi arkeolog dan hati nurani.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, Drs. I Made Kusumawijaya, M.Si, mengakui bahwa metode pembuatan fondasi dengan cara menggali tanah memang semestinya tidak dilakukan karena akan merusak situs sejarah dalam jumlah banyak. Sekalipun begitu, ia memastikan sejumlah cor beton maupun batu kali yang sudah terpasang untuk fondasi tidak akan diangkat lagi.
“Perlakuan Pemerintah diibaratkan bapak memperkosa anak dan kemudian memutilasinya,” kata Prof Dr Mundardjito, menggambarkan kerusakan situs akibat proyek PIM senilai Rp 25 miliar tersebut. Walaupun ditunjuk sebagai Tim Evaluasi Pembangunan PIM tanpa SK (surat keputusan), Mundardjito bersama Arya Abieta, Osriful Oesman, Daud Aris Tanudirjo, dan Anam Anis, mengaku telah melakukan evaluasi sebagaimana diharapkan. Namun, yang sangat ia sayangkan, sembilan poin penting yang direkomendasikan, terkesan tidak dipedulikan.
Saling Tuding
Pimpinan proyek pembangunan Majapahit Park, Aris Soviyani, memberikan versi berbeda. Ia bersikeras bahwa tak ada situs Majapahit yang dirusak dengan pembangunan ini. Pernyataan Aris ini didukung oleh Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur I Made Kusumajaya, yang mengatakan bahwa penggalian fondasi untuk pembangunan pusat informasi itu sudah dilakukan dengan memperhatikan kaidah arkeologis. ”Memang harus ada (situs) yang rusak, tetapi yang rusak itu bukan bagian penting,” ujar Made sambil menunjuk tumpukan bongkahan batu bata dari zaman Majapahit yang sudah rusak.
Sedangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik,mengakui ada kekeliruan dan kecerobohan dalam proses pekerjaan penggalian terkait pembangunan proyek sehingga merusak bagian-bagian situs sejarah tersebut. Namun semula Menbudpar tetap ngotot membangun PIM di lokasi itu juga, hanya waktunya ditunda. Karena kalau dibangun di lokasi lain diluar Trowulan, tidak ada auranya.
Sementara itu, Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat menganggap arsitek yang menangani pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, Baskoro Tedjo, hanya menjadi kambing hitam. Dosen Institut Teknologi Bandung tersebut ditunjuk menjadi arsitek pembangunan PIM ketika masterplannya sudah jadi. ”Dari pengakuan Baskoro, sebelum dia membuat desain peta lokasi PIM, masterplan sudah jadi. Seharusnya pembuat masterplan ini yang harus mempertanggungjawabkan hasil karyanya,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jabar Pon S Purajatnika.
Secara terpisah, Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pengemban tugas penelitian arkeologi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tidak pernah dilibatkan. ”Padahal, Situs Majapahit di Trowulan itu merupakan bagian dari sasaran penelitian arkeologi yang dirancang jangka panjang. Secara akademis maupun teknis Balai Arkeologi Yogyakarta tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan PIM,” kata Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto.
Anggota DPRD Kabupaten Mojokerto Syaiful Fuad mengungkapkan, pelanggaran yang dilakukan tergolong dalam kategori berat. Semestinya sebelum mendirikan bangunan, pemerintah pusat yang dalam hal ini Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) atau Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jatim yang terlibat di dalamnya harus lebih dulu mempelajari kemungkinan terburuk terkait dampak pembangunan terhadap situs-situs kerajaan yang terendam dalam tanah.
Menurutnya pelanggaran yang dimaksud adalah melawan produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yakni Perda Nomor 11 Tahun 2002 yang telah diundangkan pada 18 November 2002 tepatnya Nomor 4 seri D tentang IMB. ”Artinya kalau Amdal tidak dilakukan sudah jelas IMB tidak dikantongi oleh pelaksana,” terangnya. Fuad menambahkan kendati PIM merupakan proyek pemerintah pusat dan didanai oleh APBN, pihaknya meminta agar Pemkab Mojokerto selaku pemegang wilayah tidak tinggal diam.
Kepala Bapedalda Kabupaten Mojokerto Heri Suwito mengatakan, sejauh ini pelaksanaan PIM memang belum mengantongi IMB, yang dibuktikan dengan hasil pengkajian Amdal. ”Belum ada izin IMB-nya, makanya kita tidak bisa melakukan pengkajian Amdal,” kata Heri singkat.
Rakyat Juga Dituding
Meski tidak terkait dengan pembangunan PIM, tak urung masyarakat setempat juga tak luput dari tudingan kesalahan. Tudingan itu berbunyi, bahwa kerusakan situs Trowulan akibat industri rakyat pembuatan batu bata justru jauh lebih hebat. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak setiap tahunnya untuk pembuatan batu bata rakyat.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmodjo mengatakan, situs Majapahit di Trowulan mengalami kerusakan sejak tahun 1990. Sedikitnya 5.000 keluarga menggantungkan hidupnya pada industri batu bata yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit.
Padahal, masyarakat menggali tanah untuk pembuatan batu bata karena tak ada penghasilan alternatif. Masyarakat juga berharap saat menggali tanah bisa menemukan benda-benda bersejarah yang kemudian bisa dijual. “Saya ini kan orang kecil, kalau tidak buat itu (batu bata), lantas makan apa. Sementara cari kerja harian juga sulit,” kata Wanito (54), penduduk di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Wanito sehari-hari membuat patung dari tanah liat bersama sejumlah saudaranya.
Suwadi (56), salah seorang pembuat batu bata, yang melakukan penggalian tanah dan memusatkan usahanya di sebuah lahan persis di belakang Pusat Informasi Majapahit (PIM), mengatakan dirinya sering kali menemukan peninggalan Majapahit. Suwadi sudah bertahun-tahun menjalankan usahanya dan tidak terhitung sudah berapa hektar lahan rusak. Padahal, di lapisan bawah lahan itu ada peninggalan Majapahit.
Relokasi dan Pengusutan
Hasil rapat 8 Januari 2009 dengan puluhan pemangku kepentingan di Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, disepakati Situs Trowulan yang rusak akibat proyek PIM harus direhabilitasi dan diteliti kembali dengan melibatkan para ahli. Selain itu, proyek tersebut harus dicarikan alternatif lokasi yang baru (relokasi) ke tempat yang tidak merusak situs.
Taman Majapahit atau Majapahit Park tetap akan dibangun di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Meski demikian, pembangunan akan didesain ulang dengan cara disayembarakan dan situs yang ada sekarang tidak boleh dirusak. Untuk itu, telah dibentuk tim evaluasi atas proyek tersebut oleh Menbudpar. Secara bertahap, usulan langkah lanjutan atas situs Trowulan meliputi relokasi, rehabilitasi (merekonstruksi situs yang rusak sesuai kaidah arkeologi), penataan ruang, dan penetapan kawasan situs nasional Majapahit.
Namun anehnya, tanggal 14 Januari 2009 Bupati Mojokerto Suwandi mengatakan pembangunan yang didanai pemerintah pusat sebesar Rp 200 miliar itu layak untuk diteruskan. Selain bisa menjadi sarana wisata dan pengetahuan seputar kejayaan Majapahit, PIM dianggap mampu mendongkrak pelestarian budaya di kancah internasional.
Meski demikian, pihak kepolisian melakukan pengusutan dan terus mengumpulkan bukti-bukti bahwa telah terjadi pengrusakan dan pelanggaran hukum. Namun nampaknya kepolisian tak punya bekal yang memadai untuk mengibarkan bendera perang. Sejumlah saksi ahli dipanggil, mangkir datang. Masyarakat nanti akan menilai, apa jadinya jika suatu ketika nanti kepolisian memutuskan “pemerintah dinyatakan sebagai tersangka” kasus perusakan situs purbakala. Atau, bisa jadi kasus ini akan menguap begitu saja.
Yang jelas, proyek Taman Majapahit ini setidaknya memberi pelajaran sangat berharga, antara lain niat baik saja kalau tidak diaplikasikan dengan baik, hasilnya tidak akan baik. (swaramajapahit@gmail.com)

Senin, 16 Juli 2012

Problem Mahasiswa Baru

Ilustrasi : Corbis
Ilustrasi : Corbis
JAKARTA - Bangku kuliah kembali mendapatkan penghuni baru. Kini mahasiswa baru (maba) sudah mulai meramaikan berbagai kampus. Menjelang tahun akademik baru 2012/2012 berbagai euphoria dilakukan demi menyambut mereka.

Perjalanan panjang akan mereka enyam di kampus tercinta tersebut. Memasuki dunia kampus bagi maba adalah memasuki dunia baru, memasuki atmosfer baru pula. Adaptasi adalah sebuah rutinitas yang menjadi makanan sehari-hari yang mau tidak mau harus mereka lakukan demi mendapatkan kenyamanan di kampus tercinta.

Mulai dari rangkaian lapor diri, perkenalan dengan dosen pembimbing, sampai ospek dilakukan demi kelancaran perkuliahan nanti. Rangkaian agenda tersebut wajib diikuti maba tanpa tawar-menawar. Seiring dengan perjalanan mereka memenuhi agenda, banyak permasalahan yang terlihat kecil tetapi bisa berimbas besar.

Masalah yang menghinggapi maba sebagian besar karena dilanda kebingungan dengan lingkungan barunya tersebut. Berikut ujaran dari salah satu mahasiswa tentang kebingungan yang melanda sewaktu dulu menjadi maba. "Yang paling membuat bingung itu mata kuliahnya," ujar Sinta ketika berbincang dengan Okezone, Senin, (16/7/2012).

Maba kebingungan memilih mata kuliah karena mereka tidak memiliki gambaran mengenai masing-masing mata kuliah tersebut. "Bingung soal milih mata kuliah itu karena kita baru, lagipula kita tidak tahu mata kuliah itu isinya tentang apa. Kita juga harus mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) yang kita sendiri belum tahu itu apa," ujarnya menambahkan.

Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih untuk mengikiuti arus ketimbang bertanya dengan dosen PA, senior atau orang yang lebih mengetahui. "Aku akhirnya mengikuti teman-teman saja dalam mengambil mata kuliahnya daripada bertanya dosen atau senior karena malu," ungkapnya.

Mata kuliah adalah hal yang sangat penting, maka jangan sampai menjadi masalah yang berkelanjutan sehingga menjadi masalah besar. Manfaatkan peran dosen Pembimbing Akademik (PA) untuk berkonsultasi dalam memilih mata kuliah yang akan kamu ambil tiap semester agar tidak salah langkah.

Minggu, 15 Juli 2012

Kamu kah itu?


 Hey sayap, tumbuhlah, aku ingin terbang menikmati angin bebas, nikmat menyentuh awan dan memandang bumi dari kejauhan. Bawa tubuh ini hempas lepas musim, menuju singgasana peraduan sang surya dan bintang menari. »
Hey dirimu, datanglah, aku ingin mengatakan getaran hati ini, setiap nadi dan aliran darah terbersit namamu sementara mata hanya bisa memandangmu tak berdaya. Bawa saja sedih luka tawa bahagiamu ke sini, di antara pelukanku.
Hatiku satu
Namun lebih dari setengah kau gagahi
Hey kau yang kehijau-hijauan
tinggalkan saja gerbang puing-puing istanamu
Datang ke gubukku yang hangat
Kusediakan jamuan cinta dan cerita tentang negeri di langit
Hatiku satu
Namun lebih dari setengah menyebutmu sang bahagia
Hey Dewi asmara
Tancapkan saja sepenuhnya panahmu, tepatkan dijantungku
Biar seluruh darah mengucur, membias
Percayalah setiap tetesnya kan terus berbisik tentangmu hingga tubuh pupus kembali menjadi tanah kemudian abu

Jumat, 13 Juli 2012

Antropologi dan Beberapa Fase Perkembangannya


Antropologi berasal dari kata Yunani Anthropos yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan atau keheranan ilmuan atau orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda (budaya primitive) dari apa yang ada di Eropa. 


Obyek Antropolgi itu sendiri adalah manusia namun dalam pengertian manusia sebagai individu, dan hal inilah yang membedakannya dengan Sosiologi yang oyeknya adalah manusia sebagai masyarakat namun umumnya tetap membahas tentang manusia.


Setiap ilmu pengetahuan, pastinya mengalami perkembangan. Demikian pula dengan ilmu Antropologi. Banyak pakar atau ahli dalam bidang ini mengelompokkan perkembangan Antropologi hingga kedalam beberapa fase. Namun disini kita mengelompokkan fase perkembangan Antropologi berdasarkan seorang Guru Besar negeri kita sendiri yaitu Prof. Koentjaraningrat. Beliau mengelompokkan fase Antropologi menjadi 4 (empat), dimana:


Fase pertama, yaitu kurang dari tahun 1800. diawali ketika orang-orang eropa mulai menjelajah benua asia, afrika dan amerika. Pada tahap ini dimulai cerita dan kisah yang disampaikan oleh para musafir, missionaries, pejabat-pejabat pemerintahan dan pelaut tentang kebudayaan masyarakat diluar Eropa. Kisah ini disebut etnograph. 


Fase kedua, sekitar pertengahan abad ke-19. fase ini dimulai dari keinginan menyatukan bahan-bahan etnograph menjadi keterangan etnograpi yang didasari oleh cara berpikir analogi masyarakat dari berpikir primitif sampai ke cara berpikir tertinggi. Fase ini ilmu etnograpi sudah menjadi ilmu antropologi walau masih bersifat akademikal. 


Fase ketiga, permulaan abad 20. fase ini ilmu etnograpi sudah menjadi cara praktis dengan tujuan untuk mempelajari masyarakat diluar untuk kepentingan colonial dalam rangka memantapkan proses kolonialisasi. 


Fase keempat, setelah tahun 1930. pada fase ini sudah mengalami perkembangan yang luas baik dalam bertambahnya bahan-bahan pengetahuan ataupun dalam metodenya. Pada fase ini antropologi sudah berdifat praktis dan akademik.


Apa Etnograpi itu? Yaitu berupa gambaran lukisan dan rumusan mengenai suku bangsa tertentu. Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut Etnologi.


Dalam mengumpulkan data dalam ilmu Etnologi dikenal dengan 3 (tiga) metode, yaitu:


Metode pertama, yaitu Observasi Partisipan. Suatu metode yang digunakan untuk mendapatkan data-data obyektif tentang suatu suku bangsa dengan cara sipengamat terlibat langsung dengan obyek yang jadi pengamatannya (obyek penelitian) atau dengan kata lain menjadi bagian dari apa yang diamatinya itu. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu tidak adanya batasan waktu yang pasti. 


Metode kedua, yaitu interview. Yaitu metode wawancara Tanya jawab untuk mengumpulkan data-data. 


Metode ketiga, yaitu dokumentasi. Mendapatkan data-data dengan mengumpulkan poto-poto, tulisan-tulisan dari suku bangsa yang sedang diteliti atau diamati.


Dalam mendapatkan data, kajian etnograpi memiliki dua pendekatan. Pendekatan yang pertama yaitu penelitian dilakukan pada suatu tempat dan waktu tertentu dengan menggunakan Observasi Partisipan. Ini sesuai digunakan pada masyarakat yang sederhana. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah Pendekatan Sinkronik dimana dalam pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui dan mendalami obyek yang diteliti dengan cara melakukan penelitian yang berulang-ulang pada tempat yang sama dan waktu yang berbeda. Pendekatan ini cocok untuk dilakukan pada masyarakat perkotaan.


Tulisan saya diatas bersumber dari catatan pribadi sekolah saya sewaktu SMA dulu yang saya catat dalam sebuah buku sekolah. Tujuan saya menulis ini adalah untuk mengingat kembali akan pelajaran semasa SMA dulu dan juga mungkin sebagai bahan untuk membantu siswa-siswi SMA sekarang ini yang memiliki mata pelajaran Antropologi disekolahnya. Sedangkan umumnya adalah sebagai konsumsi pengetahuan untuk kita bersama.




Beda Antara Religi dan Magic

Dalam kajian Antropologi baik itu yang meneliti kebudayaan primitive maupun modern tentunya tidak terlepas dari adanya religi dan magic (lihat postingan saya terdahulu tentang sistim sosial budaya yang jumlahnya ada tujuh, salah satu diantaranya adalah sistem kepercayaan).


Sistem kepercayaan kalau dijabarkan dalam arti luas bisa disebut religi atau agama dimana yang mendasarinya adalah emosi manusia terhadap kekuatan-kekuatan adikodrati yang diluar akal serta jangkauan manusia itu sendiri. Lalu apa kaitannya dengan judul diatas?


Religi atau agama atau kepercayaan, baik itu di kebudayaan primitive maupun modern adalah suatu hal yang ada atau mutlak adanya. Dengan adanya agama, manusia menyembah sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak bisa dilawan serta tidak bisa deikendalikan, suatu kekuatan yang (dianggap) lebih tinggi darinya. Maka muncullah istilah Dewa, Tuhan atau sebutan-sebutan lainnya yang mendasari religi tersebut. Manusia jadi tidak berkutik terhadap kekuatan-kekuatan religi ini, dan hal inilah yang menyebabkan manusia jadi takluk dan kemudian menyembahnya dan menjadikannya sesuatu yang di-Tuhan-kan atau di-Dewa-kan. Suatu kekuatan adikodrati yang luar biasa. Manusia tidak bisa apa-apa dihadapan kekuatan yang diyakini sebagai religi ini.


Sedangkan magic, juga merupakan kekuatan supranatural yang merupakan suatu bentuk kekuatan yang luar biasa diluar akal dan kemampuan manusia itu sendiri. Namun dengan magik justru manusia tidak takluk. Akan tetapi mempergunakannya (atau mengendalikannya) sesuai keinginan manusia itu sendri. Dalam istilah magic, kita mengenal istilah magic putih dan magic hitam. Keduanya memakai atau mengendalikan kekuatan supranatural sesuai kehendak manusia itu sendiri. Sehingga dalam ruang lingkup magic, kita mengenal istilah sihir, dukun, paranormal, voodoo, jin, setan serta mahluk tak kasat mata lainnya, yang kesemuanya itu bisa “ditaklukkan” manusia untuk melayani keinginan manusia itu sendiri.


Perbedaan mendasar terletak dalam sifat manusia pada waktu sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerah diri kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; menyarahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembah itu. Dalam hal ini manusia biasanya dihinggapi oleh suatu emosi keagamaan.


Sebaliknya, dalam magic manusia bersikap lain sama sekali. Ia berusaha menaklukkan kekuatan-kekutan tinggi dan gaib agar agar dapat dikendalikan sesuai keinginan.


Jadi kesimpulan tulisan ringkas ini beda antara religi dan magic jika disederhanakan adalah kalau religi manusia tunduk dan takluk terhadap kekuatan supranatural atau adikodrati tersebut. Sebaliknya justru magic, dimana kekuatan supranatural itulah yang takluk pada manusia itu sendiri, sehingga manusia bebas untuk mempergunakan kekuatan supranatural sekehendak hatinya.

Sistim Sosial-Budaya
Pada kesempatan ini saya akan melanjutkan tulisan beberapa waktu yang lalu dalam label antropologi, tepatnya tentang antropologi dan perkembangannya. Maka inilah waktu yang tepat untuk melanjutkan posting tentang Sistem Sosial Budaya. Sistim Sosial Budaya. Apakah sebenarnya sistem sosial budaya itu? Para ahli dalam bidang ini mengemukakan bahwa yang dimaksud sistim sosial budaya ini adalah suatu kesatuan dimana terjadi proses penyesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga tercapai keserasian fungsi.

Sistim ini memiliki unsur yang oleh para ahli hingga tulisan ini saya buat “hanya” memiliki 7 (Tujuh) Unsur Sistem Sosial Budaya. Ketujuh unsur ini disebut juga Culural Universal. Kenapa universal? Hal ini dikarenakan bahwa unsur budaya ini ada pada semua masyarakat dunia ini dimanapun dan kapan pun. Dan unsur-unsur tersebut adalah :

Unsur pertama, Sistim Kepercayaan. Unsur ini diawali oleh keyakinan yang berdasarkan emosi suatu manusia. Dalam unsur ini telah terjadi perdebatan antar para ahli. Edward B. Taylor, misalnya, kepercayaan manusia berwal dari Teori Animisme, yaitu kepercayaan kepada roh nenek moyang. Kemudian pengemangannya adalah dari animisme menuju dinamisme menuju poluteisme dan kemudian barulah yang terakhir monoteisme.

Hal ini berbeda dengan Teori Pra-animisme yang dikemukakan oleh R. Maret, yang menyatakan bahawa keyakinan pertama manusia bukan animisme, akan tetapi dinamisme.

Beberapa ahli lain juga mengemukakan teori yang berbeda dari kedua ahli diatas yaitu disebut sebagai Teori Tolenisme, yaitu keyakinan awal manusia bukan animisme atau dinamisme akan tetapi Tolenisme yang dianggap merupakan benda atau mahluk hidup lain yang merupakan asal manusia. Misalnya Api, Kerbau dan lain sebagainya.

Unsur kedua. Kekerabatan dan Organisasi Sosial. Sistim kekerabatan merupakan unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang terikat oleh pertalian darah atau perkawinan. Sedangkan organisasi sosial bisa dijabarkan dengan dua cara yaitu jika secara modern diartikan keseluruhan sistem sosial yang bersifat langgeng/ kekal, memiliki identitas kolektif dan mempunyai peraturan-peraturan misalnya ADART. Sedangkan secara tradisional dijabarkan sebagai kesatuan sistem sosial dalam masyarakat yang diatur oleh adat istiadat.

Unsur yang ketiga. Sistim mata pencaharian. Pada masyarakat tradisional pata pencaharian antara lain : berburu, meramu, menangkap ikan, beternak, bercocoktanam dan lain sebagainya.

Unsur yang keempat. Peralatan dan Perlengkapan Hidup. Peralatan diciptakan oleh manusia yang mendesak demi keselamatan manusia dalam menghadapi alam. Pada masyarakat sederhana sistim peralatan itu antara lain adalah: alat produksi dan senjata, wadah makanan dan minuman, alat menyalakan api, pempat perlindungan.

Unsur yang kelima. Bahasa. Merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia, yang berfungsi antara lain sebagai alat ekspresi, integrasi, komunikasi, adaptasi dan kontrol sosial.

Unsur yang keenam. Kesenian. Merupakan ekspresi dari hasrat manusia tentang keindahan yang dapat dilihat dan didengar oleh mata dan telinga.

Unsur yang ketujuh. Sistem pengetahuan. Pada masyarakat sederhana paling tidak memiliki pengetahuan tentang alam sekitar, flora dan fauna, zat bahan-bahan mentah, tubuh manusia dan tingkah laku manusia, ruang lingkup dan waktu.

Uang Kertas Dan Logam Kuno Indonesia

Dibawah ini adalah gambar (hasil scan) uang kertas kuno Indonesia dengan nominal Rp. 1, - (satu rupiah) bergambar mantan Presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu Presiden Soekarno, keluaran Tahun 1964.

Sebagaimana yang telah saya kemukakan pada postingan sebelumnya, bahwa koleksi uang kertas kuno Indonesia ini adalah milik paman saya yang dengan kesediaan beliaulah saya diizinkan untuk men-scan semua uang kertas kuno Indonesia yang beliau miliki.

Uang kertas nominal Rp. 1, - (satu rupiah) tampak depan


Uang kertas nominal Rp. 1, - (satu rupiah) tampak belakang


Jika memang ada diantara pembaca semua tertarik untuk memiliki uang kertas diatas, silahkan negosiasikan dengan saya dengan mengirim email ke dasrildotcom@gmail.com

Uang Kertas Soekarno Rp. 25 (dua puluh lima) rupiah Tahun 1960

Satu lagi kepunyaan seorang teman uang kertas seri Soekarno tahun 1960 selain uang kertas Soekarno nominal Rp. 10 (sepuluh) rupiah adalah Uang Kertas bergambar mantan Presiden Soekarno Rp. 25 (dua puluh lima) Rupiah. Teman tersebut meminta kepada saya untuk menawarkannya kepada siapa saja yang berminat. Melalui blog yang sedang anda akses sekarang ini maka uang Soekarno Dua puluh lima rupiah tahun 1960 tersebut coba saya tawarkan saja kepada anda secara online.

Dibawah ini adalah image scanning uang kertas Soekarno Rp.25,- (dua puluh lima) rupiah Tahun 1960 tersebut, tampak depan dan belakang.




Dan jika memang ada diantara kalian yang ingin memiliki uang Soekarno tersebut, anda bisa negosiasikan dengan saya dengan mengirim email ke dasriliteza[at]gmail.com

Uang Kertas Soekarno Rp. 10 (Sepuluh) Rupiah Tahun 1960

Uang Kertas bergambar mantan Presiden Soekarno Rp. 10 (Sepuluh) Rupiah Tahun 1960 ini adalah milik seorang teman. Dia meminta kepada saya untuk menawarkannya kepada siapa saja yang berminat. Kebetulan saya memiliki blog, maka uang Soekarno Sepuluh Rupiah ini saya tawarkan saja kepada anda secara online.

Dibawah ini adalah image scanning uang kertas Soekarno Sepuluh Rupiah Tahun 1960 tersebut, tampak depan dan belakang.




Dan jika memang ada diantara kalian yang ingin memiliki uang Soekarno tersebut, anda bisa negosiasikan dengan saya dengan mengirim email ke dasriliteza[at]gmail.com

Uang kertas Rp. 100 (seratus) Rupiah Indonesia bergambar Badak Jawa atau Badak bercula satu tahun 1977

Dibawah ini adalah image scan uang kertas lama Indonesia seratus (100) rupiah bergambar Badak tahun 1977. Jumlah yang ada pada saya adalah 5 lembar. Sama seperti Uang Kertas bergambar Raja Sisingamangaraja XII, uang kertas bergambar Badak tahun 1977 ini merupakan milik teman yang saya dapatkan saat ke Kota Tanjungpandan beberapa hari yang lalu.

Jika diperhatikan secara seksama pada fisik uang kertas ini maka kita bisa melihat bahwa gambar Badak tersebut merupakan gambar Badak Jawa atau dikenal juga dengan nama Badak bercula satu.

Dan dibawah ini adalah image scan uang kertas lama Indonesia seratus rupiah tampak depan bergambar Badak bercula satu dalam posisi gambar yang lebih besar.


Sedangkan pada bagian belakang, juga masih telihat gambar Badak bercula satu namun dalam posisi gambar yang lebih kecil dan terlihat sang Badak bercula satu ini seperti dalam habitat aslinya alias di hutan.


5 lembar koleksi uang kertas Badak bercula satu ini dalam kondisi yang cukup baik.

By the way, jika memang ada diantara kalian yang berminat memiliki uang kertas diatas, silakan negoisiasikan dengan saya via email: dasriliteza[at]gmail.com.

Uang Kuno Indonesia 1 Sen Tahun 1964

Update blog kali ini saya akan menampilkan image scanning uang kertas kuno milik teman saya. Kebetulan, beberapa waktu sebelum proses scan uang kuno ini, saya ngobrol-ngobrol dengan teman sekantor saya perihal uang kuno dan kbetulan juga dia masih menyimpan beberapa lembar uang kertas kuno Indonesia yang salah satunya adalah bisa kalian lihat pada image scanning uang kertas kuno dibawah ini.

Uang kuno kepunyaaan teman saya tersebut adalah jenis uang kertas dengan nominal 1 sen (satu sen) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan dicetak oleh P.N Pertjetakan Kebajoran tahun 1964. Uang kertas kuno tersebut bagian depannya bergambar petani (Pak Tani) yang sedang memakai caping dan bagian belakangnya bergambar guratan-guratan garis yang mungkin hanya sang desainernya saja yang mengetahui arti dan maknanya.

Menurut cerita teman tersebut dia sempat memiliki uang kertas kuno pecahan Rp. 1.000,- (seribu rupiah) bergambar Soekarno yang konon katanya bisa melengkung dengan sendirinya begitu diletakkan di telapak tangan. Namun entah kenapa uang unik tersebut dia berikan pada temannya.

Berikut ini adalah image uang kertas kuno Indonesia pecahan 1 sen keluaran tahun 1964:

Tampak Depan Uang Kuno Indonesia 1 Sen Tahun 1964

Tampak Belakang Uang Kuno Indonesia 1 Sen Tahun 1964

Terkait masalah uang yang bisa melengkung dengan sendirinya, saya juga sudah pernah mencoba pada uang kertas diatas dan beberapa uang yang telah saya posting sebelumnya. Namun hasilnya nihil. Kelihatanmya, yang bisa melengkuang dengan sendirinya hanya berlaku untuk uang kertas kuno bergambar Soekarano Rp. 1.000,- (seribu rupiah) saja.

Meski mungkin kurang unik dibandingkan uang Soekarno diatas, uang kono 1 sen tetaplah benda langka yang jarang-jarang dimiliki oleh orang banyak!

Pemilik uang kertas kuno diatas telah mengizinkan saya untuk mengenalkan kepunyaannya tersebut kepada public, dan jika memang ada diantara para pembaca semua yang berniat memiliki Uang Kertas Kuno Indonesia 1 Sen Tahun 1964 diatas, dapat melakukan kontak dengan saya melalui kotak komentar dibawah artikel ini atau melalui beberapa alamat dibawah ini:

Dasril Iteza

Email: dasriliteza[at]gmail.com | dasrildotcom[at]gmail.com
Search and Add my Facebook: Dasril Iteza
Follow me on Twitter: @dasrildotcom

Uang kertas kuno Indonesia pecahan Rp. 50,- (lima puluh rupiah) keluaran 1 Djanuari 1959 cetakan Thomas de la Rue & Company Limited

Setelah tertunda cukup lama bagi saya untuk melanjutkan postingan artikel tentang uang kuno Indonesia lebih tepatnya tentang uang kertas kuno Indonesia, maka kembali saya akan menampilkan image scanning uang kertas kuno Indonesia, dimana yang akan saya tampilkan adalah Uang kertas kuno Indonesia pecahan Rp. 50,- (lima puluh rupiah) bergambar depan seekor burung namun saya tidak jelas jenis burung apa itu sebenarnya, sedangkan gambar belakang dari uang kertas kuno Indonesia tersebut adalah gambar burung juga yaitu gambar dua ekor burung elang berbulu dada putih dan saling menatap satu sama lainnya.

Serti apa bentuk uang kertas kuno pecahan seratus rupiah tersebut? Dibawah ini adalah image scanning Uang kertas kuno Indonesia dengan nominal Rp. 50,- (lima puluh rupiah) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia Tanggal 1 Djanuari 1959 cetakan Thomas de la Rue & Company Limited.


Uang kertas kuno Indonesia pecahan Rp. 50,- (lima puluh rupiah) keluaran 1 Djanuari 1959 cetakan Thomas de la Rue & Company Limited (depan).


Uang kertas kuno Indonesia pecahan Rp. 50,- (lima puluh rupiah) keluaran 1 Djanuari 1959 cetakan Thomas de la Rue & Company Limited (belakang).


Dan jika memang ada diantara pembaca semua tertarik untuk memiliki uang kertas kuno Indonesia diatas, silahkan negosiasikan dengan saya dengan mengirim email ke: dasriliteza[at]gmail.com.

Koin Logam Nederlandsch Indie 1 Cent Tahun 1908

Perburuan akan uang kuno/ uang lama masih terus saya lanjutkan. Masih “bongkar-bongkar” rumah yang ada di Tanjungpandan, kali ini saya menemukan koin logam kuno Nederlandsch Indie 1 Cent Tahun 1908, hanya satu keping, namun lumayan untuk menambah koleksi uang kuno jenis koin.



Koin Nederlandsch Indie 1 Cent Tahun 1908 tersebut telah berusia 103 tahun. Satu diantara 2 koleksi koin kuno saya yang berusia lebih dari 100 tahun, dimana yang satunya lagi adalah Koin Nederlandsch Indie 2 ½ Cent tahun 1897.
Peter SandersPeter Sanders


Peter Sanders was born in London in 1946. His professional career in photography began during the mid-sixties where he photographed most of the major stars in the music business including Bob Dylan, Jimi Hendrix, The Doors, The Who, the Rolling Stones etc. Towards the end of the 1970's, Sanders' attention turned inward which set him on a spiritual search to India and then eventually to the Muslim world where the spiritual beauty of Islam left an indelible impression upon him. After his return to England, he embraced Islam and was given the name Abd al-Adheem. In 1971 he was granted the unique opportunity to photograph the rituals of Hajj or annual Muslim pilgrimage to Mecca. These images appeared in the Sunday Times Magazine, The Observer, among many other major journals in recognition of their rareness.
For Peter Sanders, faith and photography have both been part of his spiritual development. It was his search to capture the essence of reality that led him to Islam and, with camera in hand, to the door of the Kaaba. From photographing the most famous of idols in the music industry to the most sacred places in the Islamic world, Peter Sanders' journey encompasses more than a change of focus for his camera lens.
"Having photographed almost every famous person in the music industry I got bored and started getting in to spritual things. I just wanted something else, and so I decided to go to India. I packed everything up and went, looking for a teacher. Eventually I found one, who was basically a Hindu but had a lot of what we consider 'Muslim Qualities'. I studied with him for about six months and when I cam back to England, some of my friends had become Muslim. Then there were other friends who had gotten heavy into drugs and alchohol. It was as if God was saying to me, 'which direction do you want to go?'.
"I didn't know very much about Islam but I had dreams and various other things happened to me. So I made a decision to become Muslim without knowing too much about it. I was 24 years old at the time and within three months of becoming Muslim, I decided to go on Hajj. I didn't have the money but I just made the intention. My elderly Muslim teacher at that time had also made the intention and I knew that I wanted to go too. Someone gave me a ticket and I went. It was at the Kaaba that I learnt that my teacher had died on the way."
At the time, back in 1971, photographs of the Hajj were quite rare. Peter Sanders was granted special permission to photograph the sacred places; a decision that still amazes him. "It was pretty unique for a Westerner to have taken pictures of the Hajj. I had to sl;og from offices to offices in Jeddaj and Makkah and eventually I found a man that had the authority to grant me permission. A lot of people didn't want to take rresponsibility at the time, and they were generally not too keen on photography anyway, especially by a convert. But this man was in a position to authorise me and he did so purely on trust."
For Peter Sanders, photography is essentially a means to capture the spirit of Islam. As he describes his efforts to do this, the words of an Urdu poet come to mind: 'To see the reality of Madinah you need more than just sight; you need vision'. As if seeking to possess this vision is not a great enough mission in itself, Peter Sanders attempts to then convey it to others. He has spent the last thirty years documenting the remains of traditional Islamic societies that are fast disappearing from the earth. One of his ongoing projects in trying to capture dying traditions has been the compilation of a photographic album of the great scholars and saints of our time. The two volumes, that he hopes to raise funds to publish, include pictures of people who were photographed for the first time and some of whom have passed away in recent months and years.
For more information on Peter Sanders' work click here

Angka 13 dalam Gaji 13 Pegawai Negeri Sipil

Tidak sedikit orang yang memercayai dan bahkan meyakini angka 13 merupakan angka yang mengandung kesialan. Dua digit angka yaitu 1 dan 3, telah telah memunculkan berbagai pendapat yang bermuara pada kesialan. Ya, 13 adalah angka sial.
Namun     di belahan        bumi lainnya,     tepatnya   di  Indonesia, bagai        sebagian orang, lebih tepatnya bagi para pegawai negeri sipil, 13 merupakan sesuatu yang sangat dinanti-nantikan tiap tahunnya. Apa itu? Tentu      saja kombinasi kata dan angka     yakni ‘Gaji’ dan ‘13’ jika digabung menjadi Gaji 13. Angka 13      dalam hal   ini   berhubungan dengan uang. Sudah barang pasti bukanlah bentuk kesialan. Angka 13 yang mengandung rezeki yang biasanya dibayarkan pada para pegawai negeri       selang bulan Juni hinggal bulan Juli. Jumlahnyapun cukup     besar sebulan gaji yaitu jutaan, tergantung pangkat dan golongan ruang dari    sang pegawai   negeri tersebut.
Angka 13 dikombinasikan dengan Gaji sehingga menjadi Gaji 13 merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu kedatangannya, bukan sesuatu yang mesti dijauhi dan berbau kesialan.
Dan faktanya bulan Juni – Juli ini adalah waktunya para pegawai negeri dilabrak Gaji 13 dan mereka dengan suka cita membuka tangan lebar-lebar dengan senyum lebar merekah menyambut angka 13 yang membawa pada rezeki materi.Dan berbahagialah orang-orang yang mendapat Gaji 13…
Jangan diambil serius ya gan (terutama buat agan-agan yang bukan PNS)….nih tulisan hanya sekadar intermezo!

Kamis, 12 Juli 2012

Kisah Seorang Migran Ilegal Di Negeri Belanda

Demonstrasi penangkapan buruh migran Mei 2012 di Schiphol Timur, Belanda.

Sekian tahun yang lalu saya datang ke negeri Belanda dengan visa turis. Harapannya, saya dapat bekerja gelap dan menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat. Kalau dibandingkan bekerja di Indonesia, dengan ijasah yang sama, saya perkirakan bisa dapat uang lebih banyak di Belanda.
 Saya mencari informasi dari orang-orang yang pernah bekerja di Belanda. Mereka bercerita mengenai hal yang enak-enak saja. Saya mencari informasi bagaimana mengurus paspor, minta visa dan mencari pesawat paling murah untuk pergi ke Belanda. Dengan bahasa Inggris yang terbatas, saya kira sudah cukup untuk modal tinggal dan bekerja di Belanda.
 Ternyata saya perlu uang untuk urus paspor, visa dan tiket pesawat pulang pergi Indonesia-Belanda. Saya berminggu-minggu cari akal bagaimana mendapatkan uangnya. Akhirnya akal ditemukan juga. Saya menggadaikan rumah saya untuk mendapatkan uang. Dan dengan uang itu saya bayar paspor, visa dan tiket pesawat.
Saya berpikir semuanya sudah selesai, hanya tinggal berangkat ke Belanda saja. Saya pun terbang ke Schiphol.
Sesampainya di Belanda, rupanya apa yang saya pikirkan sudah selesai, itu baru permulaan dari banyak masalah. Karena saya tak bisa berbahasa Belanda, saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan kamar untuk tidur. Ketika saya mendapatkan kamar, saya tidak tahu apakah itu murah atau mahal, karena saya tidak bisa tanya dan tidak tahu bagaimana membandingkan harganya (problem pertama).
Mencari pekerjaan? Ke mana? Mau tanya siapa? Saya tak bisa berbahasa Belanda. Saya mendapatkan ide untuk lebih baik bekerja di restoran Indonesia saja. Mungkin di sana ada orang Indonesia? Dan yang pasti kalau bekerja di restoran saya akan mengirit ongkos makan, karena makan pasti tidak bayar. Di sana memang ada orang Indonesia tapi mereka menanyakan apakah saya mempunyai izin tinggal. Pemilik restoran takut untuk menerima pekerja gelap di restorannya (problem kedua).
Saya menerima masukan dari beberapa rekan yang bekerja di restoran itu untuk bekerja sebagai pembersih rumah, karena izin tinggal tidak ditanyakan. Akhirnya saya mendapat perkerjaan untuk membersihkan rumah dengan cara “dari mulut ke mulut” dan digaji sangat sedikit dengan alasan karena saya tidak berbicara bahasa Belanda. Memang susah untuk mengerti bila yang punya rumah ingin menyampaikan sesuatu (problem ketiga).
Karena cuaca di Belanda selalu dingin, kalau dibandingkan dengan di Indonesia, maka saya suatu saat jatuh sakit. Saya tidak tahu bagaimana harus pergi ke dokter? Harus bayar pakai apa? Karena kalau saya sakit berarti saya tidak bisa bekerja, dan kalau saya tak bekerja, saya tidak dapat gaji (problem keempat).
Dan lagi kalau tidak ada uang, saya juga tidak bisa makan (problem kelima). Kalau saya kelamaan sakit saya dikeluarkan dari pekerjaan, karena ini bukan pekerjaan tetap (problem keenam).
Pekerjaan tetap tidak mungkin ditawarkan selama saya tidak mempunyai izin tinggal. Sering sekali gaji saya dipermainkan karena saya dalam posisi yang lemah. Karena saya tidak mempunyai izin tinggal kehidupan saya tidak tenang dan selalu takut kalau jalan-jalan atau bekerja. Bila ada pemeriksaan dan saya ditangkap oleh polisi imigrasi maka saya akan dipulangkan ke Indonesia (problem ketujuh).
Jadi semua yang saya hitung-hitung di Indonesia, ternyata tidak secepat itu uang dapat terkumpul. Dan bukan itu saja, kehidupan saya tidak tenang dan setiap hari takut ditangkap dan dipulangkan ke Indonesia. Rumah saya yang di Indonesia sudah saya gadaikan; saya sudah tinggal di Belanda setahun lamanya dan uang yang terkumpul juga belum dapat menebus rumah saya.
Saya bekerja di Belanda dengan hati yang tidak tenang. Hasilnya pun tidak seperti yang saya bayangkan. Seandainya saya masih di Indonesia, saya tidak perlu setiap hari hidup dalam ketakutan dan kedinginan. Tetapi tidak ada jalan lain yang ada selain harus bertahan di dalam situasi ini, paling tidak mengumpulkan uang cukup untuk menebus rumah yang sudah saya gadaikan di Indonesia.

Dewa Dari Leuwinanggung (Iwan Fals)

                      Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

LEUWINANGGUNG adalah sebuah desa yang mirip kebanyakan dusun Pulau Jawa, dimana ada banyak rumah, beberapa sekolah, masjid, klinik, pepohonan dan kerindangan bambu, madrasah ibtidaiyah, serta kantor lurah walau Leuwinanggung tidak sama dengan desa-desa lain di Pulau Jawa karena di sana berumahlah seorang dewa. Dia bernama Iwan Fals.

Sang dewa ini tinggal di sebuah rumah besar, tanahnya 6.000 meter persegi, bagian terbesar dipakai untuk sebuah toko, pendopo, sebuah panggung terbuka, maupun kantor organisasi para penggemar si dewa bernama Oi. Sedang kediaman pribadi sang dewa dilengkapi studio musik, garasi mobil (termasuk bus), rumah tinggal, serta kebun dengan rumput tercukur rapi.

Suatu sore September lalu, Iwan Fals menceritakan perkenalannya dengan Leuwinanggung pada saya. “Tahun 1982 saya cari tanah di sini, maksudnya untuk investasi saja,” katanya. Dia membeli tanah dari rezeki penjualan kaset Sarjana Muda yang diluncurkan 1981 dan terjual 300 ribu buah. Kisah berikutnya, dia sekali-sekali datang dari Jakarta bersama istrinya, mantan model Yos Rosana, menengok tanah mereka serta membawa pulang buah-buahan dari kebun.

Leuwinanggung menarik karena warganya rukun. Kalau ada acara perkawinan, jaipongan, atau kematian, semuanya kumpul. “Bila ada kematian, pengunjung yang datang justru dibayar. Diberi uang. Mereka bahkan sampai ngutang. Dalam hati saya pikir, ‘Gagah amat.’ Saya merasa kecil sekali. Kayak jawara gitu. Ada kegagahan di sini. Kalau mereka datang kenduri, duduk, pandangan ke depan, nggak ditegur ya diam saja. Kalau ada makan ya nggak rakus. Saya kan dulu nggak tahu. Ada makanan ya saya makan,” kata Iwan.

Kalau sedang tak sibuk, Iwan ikut salawatan tiap malam Jumat. “Bahasanya campur Arab, Sunda, Jawa. Ada 20 nomor salawatan lama yang saya kumpulkan.” Salawatan untuk sebuah desa macam Leuwinanggung, yang tanahnya, kapling demi kapling dibeli orang Jakarta, dan anak-anak mudanya mulai kekurangan pekerjaan, bisa jadi kekuatan untuk desa ini. “Kekuatan secara batin, secara spiritual,” kata Iwan.

Leuwinanggung sendiri terletak di daerah Bogor. Penduduk di sana sehari-hari bicara bahasa Sunda kasar. Orang butuh sekitar satu jam naik taksi dari Jakarta ke Leuwinanggung. Daerahnya terpencil. Selewat magrib, jalanan Leuwinanggung sepi dan jarang ada kendaraan. Ketika 16 Agustus lalu saya kemalaman di Leuwinanggung, lewat tengah malam saya jalan kaki empat kilometer untuk mendapatkan tukang ojek.

Ketika itu sekitar 600 penggemar Fals dan penduduk Leuwinanggung merayakan Agustusan bersama. Di sanalah saya menemukan banyak iwan fals. Mereka bergaya ala Fals dengan rambut gondrong, jins belel, memberi salam dan berteriak “Oi.” Suaranya dibuat dalam, agak serak. Di panggung, lagu-lagu Fals dibawakan bergantian, dari yang mirip aransemen aslinya, sehingga mendapat tepuk tangan, sampai yang ditertawakan penonton—dapat tepuk tangan juga.

Yang ditertawakan termasuk seorang pemuda 30-an tahun. Topinya merah, rambutnya gondrong sepundak, kulitnya gelap, giginya putih bersih, dan namanya Fajar Wijaya. Fajar seorang pengamen kelahiran Yogyakarta tapi lebih sering mengamen di Cilegon. “Saya terharu, menjerit, merasa ada panggilan hati. Dapat bimbingan dari lagunya itu,” katanya, mengacu lagu Di Mata Air Tak Ada Air Mata.

“Saya merasa kok ada hikmah tersendiri buat hidup saya. Saya merantau. (Lagu) ini nasihat dalam perjalanan hidup saya. Saya merenungkan jati diri saya,” kata Fajar, tersenyum sembari menarik-narik baju luriknya yang lusuh.

Iwan Fals memang bukan dewa dalam pengertian mitologi Yunani. Mungkin kedewaan Fals lebih dekat dengan fenomena musik 1960-an ketika dinding-dinding kota London dicorat-coret dengan kalimat, “Clapton is god (Clapton seorang dewa).” Mereka yang anonim itu memuja Eric Clapton, gitaris blues Yardbirds yang muncul di Inggris pada 1963. Majalah Rolling Stone menyebut Clapton menonjol karena konsisten menjaga standar mutu karyanya.

Orang yang malam Agustusan itu tak kalah sibuknya dengan Fajar adalah Slamet Setyabudi, koordinator keamanan Oi, yang sehari-hari bekerja sebagai tentara dengan pangkat sersan dua dari Pasukan Pengawal Presiden. Slamet badannya tegap, orangnya ramah. Dia anggota Grup C, yang bertugas mengawal tamu-tamu negara. Dia pernah mengawal Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Timor Lorosa’e Xanana Gusmao. “Habis dinas saya ke sini,” katanya.

Slamet sesekali membawa rekan-rekannya ke Leuwinanggung untuk bantu keamanan. “Tentara yang penggemar Mas Iwan ini sebenarnya banyak,” katanya. Saya sempat berpikir nakal. Negara Indonesia membayari ratusan tentara untuk mengawal presiden dan wakil presiden. Mereka menerima gaji, sering pergi ke luar negeri, menerima pelatihan, mendapat seragam keren. Tentara yang sama mengawal Iwan Fals dengan gratis!

Malam itu lebih dari selusin pengurus Oi bercerita tentang Fals pada saya. Mereka cerita para penggemar yang terperangah ketika pertama kali menemui Fals. Banyak yang “gila” dengan memeluk, mencium tangan, dan menangisi Fals. Ada yang datang dari Flores, Riau, Jambi, dan sebagainya.

Malam itu saya berharap melihat ritual tersebut. Ratusan penggemar berharap sang dewa muncul. Namun Iwan tetap tinggal di rumah. Dia “meriang, kecapekan” dan dicurigai kena tipus. Dewa ini ternyata manusia biasa yang bisa sakit.


MALAM itu juga ada Muhamad Ma’mun. Seorang lelaki yang menarik. Penampilannya kalem, rambutnya panjang, dan terkadang dipanggil “Romo.” Ma’mun dulu pernah kerja di perusahaan properti tapi sekarang wiraswasta, memborong pekerjaan bangunan rumah. Ma’mun termasuk kenalan dekat Iwan Fals. Dia mengenal keluarga Fals sejak 1985 ketika mulai mondok di sebuah rumah di Jalan Barkah, daerah Manggarai di pusat Jakarta. Rumah itu milik Lies Suudiyah, seorang pekerja sosial dan ibunda Iwan.

Fals waktu itu sudah berkeluarga dan tinggal di Condet. “Panggilan rumahnya Tanto,” kata Ma’mun. Nama lengkapnya Virgiawan Listanto. “Galang masih kecil, belum sekolah, mungkin empat atau lima tahun. Cikal baru bisa jalan,” kata Ma’mun, mengacu pada anak Iwan: Galang Rambu Anarki dan Anisa Cikal Rambu Basae.

Entah kenapa keduanya cocok. Ma’mun usianya tiga tahun lebih tua dari Iwan. Ma’mun kelahiran Solo 1958 sedang Iwan Jakarta 1961. Mungkin mereka punya karakter dasar yang sama. Keduanya orang yang tak ragu mempertanyakan apapun. Saya terkesan dengan kerendahan hati mereka. Ketika mondok, Ma’mun bekerja sebagai pegawai PT Pembangunan Jaya sementara Iwan sudah mulai dikenal sebagai penyanyi. Persahabatan mereka berlanjut hingga sekarang. Ma’mun termasuk orang yang diminta Iwan jadi pengurus Yayasan Orang Indonesia—yayasan sosial yang dibentuk dan diketuai Iwan sendiri.

Pengalaman berkesan Ma’mun terjadi ketika mereka lagi membaca harian sore Sinar Harapan yang memuat foto anggota-anggota parlemen ketiduran saat sidang. “Wah, ini perlu disentil To,” kata Ma’mun.

Iwan menyanding gitar dan Ma’mun membawa pena. Mereka bekerja mencari lirik dan musik. Semalaman mereka bekerja. Hasilnya, lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang dimasukkan dalam album Wakil Rakyat (1987). Ma’mun bangga dengan karya bersama ini apalagi ketika mahasiswa menjadikan lagu itu “lagu wajib” demonstrasi. Hingga kini Ma’mun rutin mendapatkan kiriman uang royalti dari Musica—produser dan distributor sebagian besar album Fals.

Ma’mun menilai temannya itu sebagai salah satu penyanyi kritik sosial terkemuka di Indonesia. Iwan menggunakan bahasa Indonesia, untuk bercerita tentang anak maling yang jadi maling, sunatan massal, pelacur, korupsi, nasib guru, dan sebagainya. Majalah Time Mei lalu menyebutnya “pahlawan Asia”—sejajar dengan Jackie Chan, Xanana Gusmao, dan Aung San Suu Kyi.

Kalau artis lain menjaga penampilan mereka lewat make up menyala, potongan rambut aneh, kostum unik, atau operasi plastik untuk memperindah diri, Iwan Fals tampil biasa. Beberapa kali saya menyaksikan Iwan memakai kaos Shanghai, kaos katun tipis dan lembut, yang harganya Rp 10 ribu selembar, saat konser. Orang toh tetap histeris melihatnya. Iwan mungkin punya kharisma.

Amir Husin Daulay, seorang aktivis mahasiswa 1980-an dari Yayasan Pijar, menyebut Fals “nabi buat para pengikutnya.” Pada 1983, Daulay mengundang Fals mengamen ke kampus Akademi Ilmu Statistik. Iwan datang bersama Yos, membawa gitar, menyanyikan empat lagu, dan mendapat honor Rp 400 ribu. Pengalaman mengamen, yang dilakukannya bertahun-tahun, melatih Iwan menghadapi massa, dari pentas ke pentas, sehingga tahu bagaimana mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur suara, mana yang disukai, mana yang tak disukai.

Persahabatan Ma’mun dan Iwan meningkat seiring karier mereka berdua. Antara Sarjana Muda hingga album Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu pada 1989, Iwan menghasilkan 13 album bersama Musica. Artinya, hampir satu album tiap enam bulan. Ini luar biasa.

Pada 1989 Iwan menerbitkan album Mata Dewa bersama Arena Indonesia Production (Airo). Mereka berniat mengadakan tur 100 kota. Konser perdana 26 Februari 1989 di Jakarta berjalan baik tapi buntutnya sebelas kendaraan bermotor dirusak. Mengapa kerusuhan terjadi? Sampai hari ini belum ada penjelasan rinci. Apa polisi kurang profesional? Atau Arena Indonesia Production kurang siap? Atau Fals mengeluarkan kalimat-kalimat yang memprovokasi massa?

Tapi tur jalan terus ke Pulau Sumatra. Sore hari 9 Maret 1989, Ma’mun dan Iwan Fals berada di sebuah hotel di Palembang. Keesokannya, Iwan bakal tampil di konser Mata Dewa. Sehabis makan malam, Ma’mun dan Iwan masuk kamar. Di depan cermin, mereka bicara soal persiapan konser.

Gayane ngene yo? (Gayanya gini ya?)” tanya Iwan, sambil memegang gitar akustik.

Ojo ndingkluk. Rodo ndegek (Jangan menunduk. Agak membusung),” kata Ma’mun. Iwan pun mengubah gayanya memegang gitar.

Nek penyanyi rock ngene lho! (Kalau penyanyi rock begini lho!)” kata Ma’mun, mengambil gitar dan memberi contoh.

Mereka diskusi sebelum tidur. Keesokan harinya, Sofyan Ali, promotor Arena Indonesia Production, memberi kabar buruk. Polisi Palembang memberitahu ada radiogram dari markas polisi Jakarta. Mereka melarang Fals melanjutkan tur guna menghindari kekacauan. Padahal alat-alat sudah siap, panggung sudah siap. Rencana pertunjukan Palembang, Padang, Jambi, Medan, dan Banda Aceh dilarang. Iwan menangis. “Buat Iwan panggung adalah kehidupannya. Dia jadi hidup kalau di panggung,” kata Ma’mun.

Ironisnya, polisi melarang ketika belum ada penelitian tuntas mengapa keributan Jakarta terjadi. Di mana-mana kumpulan massa punya potensi ribut, dari massa sepak bola hingga musik. Ini tak berarti orang dilarang main bola atau nonton musik bukan? Bagaimana kebudayaan manusia akan maju kalau khawatir ribut? Bukankah polisi dibayar, bahkan negara diadakan, agar kebudayaan bisa maju, agar demokrasi bisa berkembang?

Lebih susah lagi. Di Indonesia, banyak orang malas berpikir, banyak wartawan malas melakukan reportase, dan lebih banyak lagi orang yang suka mengembangkan teori “pihak ketiga.” Di mana-mana ada teori ini. Buruh dilarang demonstrasi karena ditunggangi “pihak ketiga.” Mahasiswa bikin rusuh karena “pihak ketiga.” Saya mempelajari laporan berbagai suratkabar Indonesia dan melihat ada tiga teori “pihak ketiga” di balik pembredelan Mata Dewa.

“Pihak ketiga” pertama adalah “mafia Glodok” yang meminjam tangan polisi untuk mematahkan gaya distribusi kaset ala Sofyan Ali. “Mafia Glodok” adalah sebutan untuk industri rekaman yang berpusat di Glodok, Jakarta. Mereka kebanyakan dikelola pengusaha Indonesia etnik Tionghoa dan dianggap kurang menghargai seni, kurang menghargai musisi, tapi menguasai distribusi kaset. Spekulasi ini datang karena Iwan Fals pindah dari Musica ke tempat Sofyan Ali.

“Pihak ketiga” kedua adalah “industri rokok tertentu” yang meminjam tangan polisi guna menjegal pemasaran rokok Djarum—sponsor utama Mata Dewa. “Pihak ketiga” ketiga adalah pejabat-pejabat “tertentu” yang tak senang dengan kritik sosial Fals.

Tak ada bukti kuat untuk mendukung ketiga teori itu. Tapi cukup banyak alasan mengatakan ketiganya spekulatif. Iwan tak sepenuhnya pindah dari Musica karena ia juga mengerjakan lagu Kemesraan bersama artis Musica. “Saya merasa bersyukur punya partner Musica,” kata Iwan pada saya. Bisnis musik juga kecil sekali dibanding bisnis rokok. Raksasa industri rokok Djarum (Kudus), Sampoerna (Surabaya), Gudang Garam (Kediri), dan BAT (Jakarta) memang bersaing tapi juga bergabung dalam suatu kartel. Promosi lewat Fals memang penting tapi hanya sebagian kecil dari promosi Djarum. Keuntungan Djarum tahun lalu saja sebesar Rp 2,08 triliun atau hampir dua kali lipat omzet semua industri rekaman Indonesia. Siapa pejabat yang tak suka Fals? Setiawan Djody, rekanan bisnis Sofyan Ali dan salah satu pemegang saham PT Airo Swadaya Stupa, juga dekat dengan kalangan pejabat. Mengapa tak ada yang bicara dengan Djody?

Di Palembang tak ada verifikasi dan tawar-menawar. Kekuatan negara Orde Baru sangat kuat. Jangankan Iwan Fals. Protes dari hampir semua organisasi nirlaba di Indonesia, terhadap penggenangan desa-desa calon waduk Kedung Ombo bulan sebelumnya, juga diabaikan rezim Soeharto. Bank Dunia, yang mendanai Kedung Ombo, tak berbuat banyak melihat puluhan ribu petani mengungsi menyelamatkan harta dan nyawa. Iwan melawan. Dia jalan sendirian ke Padang, Jambi, dan lainnya, untuk memberitahu publik dia tak bisa memenuhi janji karena dilarang polisi. Ma’mun pulang ke Jakarta membawa pulang peralatan dengan delapan truk. “Pakaian saya bawa, kopernya saya bawa pulang. Dia cuma bawa pakaian satu.”

Di Jakarta, pelarangan itu juga memprihatinkan musisi lain. Sawung Jabo, musikus dari komunitas Sirkus Barock, menelepon Iwan untuk menyatakan simpati. Iwan pernah ikut pementasan Sirkus Barock pada 1986.

“Saya lupa persisnya. Suatu malam Iwan datang ke rumah saya di Pasar Minggu, yang notabene rumah tempat kami sering ngumpul. Iwan menawarkan untuk membuat album,” kata Jabo.

“Pada awalnya Iwan, kalau tidak salah mengusulkan nama Septiktank, tapi saya dan beberapa kawan menolaknya. Lalu kita mengusulkan nama yang kami pilih lewat lotere. Setelah diundi terpilihlah nama Swami, yang kebetulan nama itu usulan saya.” Ini plesetan dari kata “suami” karena mereka semua sudah beristeri.

Rata-rata awak Swami pernah terlibat Sirkus Barock. Baik pemain flute Naniel, pemain gitar bass Nanoe, pemain piano Tatas, apalagi drummer Inisisri yang banyak memberi warna musik Sirkus Barock. Hanya Jockie Suryoprayogo dan Totok Tewel agak baru di Sirkus Barock.

Mereka pun bekerja. Lagu paling spektakular berjudul Bento. Iwan sempat mengajak Ma’mun pergi ke studio tempat mixing dan minta komentar tentang Bento. Ma’mun berkomentar, “Wah, ini kayak virus. Ini cepet nyebarnya.”

Iki piye Mas? (Ini bagaimana Mas?)” tanya Iwan.

Apik. Virus kabeh (Bagus. Virus semua).”

Iwan dan kawan-kawan senang. Mereka makan nasi bungkus sembari mengobrol hingga pagi.

Bento diciptakan Iwan dan Naniel. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan orang susah. "Bento" sendiri artinya “goblok” dalam dialek Jawa Timuran. Ketika mengarang Bento, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya pada saya.

namaku Bento, rumah real estate
mobilku banyak, harta melimpah
orang memanggilku bos eksekutif
tokoh papan atas, atas segalanya, asyik


Sawung Jabo membantu aransemen lagu tersebut, “Saya memasukkan unsur tema lead accoustic,” katanya. Ketika beredar ke pasar, Swami memang ibarat virus. Lagu Bongkar juga jadi salah satu hit. Mula-mula media sempat bertanya-tanya apakah TVRI bersedia menyiarkan Swami. TVRI waktu itu satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. TVRI sepenuhnya dikuasai rezim Soeharto. Ternyata tanpa ada keistimewaan, Bongkar muncul pada 13 Maret 1990. Ini mengejutkan banyak wartawan musik. Sekali lagi teori “pihak ketiga” tidak laku.


PADA Maret 1990 rombongan Swami datang ke Salatiga: Sawung Jabo, Iwan Fals, Naniel, Nanoe, Inisisri, penyair W.S. Rendra, pengusaha Setiawan Djody, dan sebagainya. Salatiga sebuah kota kecil di tengah Pulau Jawa yang pada 1980-an secara politik cukup dinamis.

Media banyak memperhatikan kedatangan mereka. Bagaimana tidak? Djody miliuner kapal tanker yang dekat dengan keluarga Soeharto. Rendra seorang penyair, mungkin yang terbaik di Indonesia, yang beberapa kali masuk tahanan Orde Baru. Jabo pemusik yang sering bikin eksperimen bermutu. Iwan sendiri dianggap makin memberontak sejak Palembang. Sebuah kolaborasi unik.

Orang yang berperan mendatangkan Swami ke Salatiga adalah Endi Agus Riyono A.S. atau biasa disingkat Endi Aras—seorang mantan aktivis mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga dan wartawan majalah Film di Jakarta. Endi orangnya ramah, rambut bergelombang sebahu, murah senyum, pandai bergaul, suka musik, dan suka ikut kepanduan. Juli lalu ketika saya mewawancarai Endi, penampilannya tak banyak berubah, walau perutnya agak buncit, sudah berkeluarga, serta memiliki perusahaan sendiri Matamata Communications yang bergerak di bidang public relation dan event organizer.

Endi bertemu Iwan pada 1985 ketika ia diutus rekan-rekannya menghubungi Iwan agar menyanyi dan ceramah di kampus Satya Wacana. “Aku disuruh cari ke Jakarta,” kata Endi. Mulanya Endi cari di Musica tapi tak ada dan ketemunya di Condet. Iwan keberatan datang ke Salatiga, “Aku nggak bisa ngomong,” kata Iwan.

Iwan merekomendasikan penyanyi balada lain. Endi penasaran. Endi pengagum Fals dan punya koleksi lengkap album Fals. Endi pun menulis surat kepada Iwan dan dibalas pakai tulisan tangan. “Apa yang diomongin sama yang dipikir, lebih cepat yang dipikirin,” kata Endi, menerangkan keengganan Iwan tampil pada fora akademik.

Kejadian itu membuka perkawanan Endi dan Iwan. Pada 1989 Endi bekerja di majalah Film. Sebagai wartawan ia menulis soal Iwan. Ini praktik biasa di kalangan wartawan musik Indonesia—menjalin pertemanan dengan sumber-sumber mereka. Endi dan Iwan sering telepon-teleponan. “Ndi kamu ke sini,” ujar Iwan. Bila Endi dolan ke tempat Iwan, mereka bisa mengobrol dari siang sampai malam. Mereka juga sering naik mobil, mengobrol, mengelilingi jalan tol. “Iwan itu senang kalau ada teman ngobrol,” kata Endi.

Endi membawakan buku-buku untuk Iwan. Misalnya Catatan Harian Seorang Demonstran tentang Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an yang ikut mengatur demonstrasi anti-Presiden Soekarno, yang meninggal keracunan gas di Gunung Semeru pada 1969.

Endi juga memberikan selebaran-selebaran gelap. Iwan tertarik karena ia simpati pada orang tertindas. Pada 1980-an ketidakpuasan warga Indonesia terhadap rezim Soeharto makin tinggi. Anak-anak Soeharto beranjak dewasa dan terlibat dalam bisnis, dari monopoli cengkeh hingga jalan tol. Militer juga makin kuat mengontrol kehidupan warga walau di sana-sini ada gesekan internal antara militer hijau (muslim) dan militer merah putih (nasionalis).

Di Salatiga Endi sering menginap di kantor Yayasan Geni—sebuah organisasi nirlaba yang banyak terlibat gerakan protes. Satya Wacana 1980-an juga kampus yang memberikan tempat untuk pemikiran kritis, antara lain karena pengaruh dosen-dosen liberal macam Arief Budiman, seorang doktor lulusan Universitas Harvard, kakak kandung Soe Hok Gie, yang getol bicara Marxisme, negara, masyarakat, demokrasi, dan acapkali diwawancarai media. “Iwan ngefans sama Arief Budiman,” kata Endi.

Budiman dekat dengan mahasiswa, antara lain dengan Stanley, panggilan seorang aktivis mahasiwa yang nama lengkapnya Yosep Adi Prasetyo. Stanley kawan dekat Endi. Budiman sering mengajak Stanley, Endi, dan mahasiswa lain ikut diskusi. Dari Stanley pula Endi menerima selebaran gelap dan buku. Endi menyampaikannya pada Fals.

Ketika Swami mengeluarkan album, Endi menawari Swami pergi ke Salatiga. Pucuk dicinta ulam tiba. “Biaya dari Djody semua, panitia hanya ngurus tempat. Kita agendakan ngobrol-ngobrol di rumah Arief Budiman,” kata Endi.

Mereka datang lebih awal dan mengadakan dua diskusi. Diskusi agak besaran diadakan di sebuah guest house milik Satya Wacana, sebuah rumah kolonial peninggalan Belanda, yang luas dan megah. Rumah itu dipakai Djody dan peragawati Regina Sandi Harun, istri muda Djody. Diskusi agak kecil diadakan di rumah Budiman sembari makan malam. Rumah ini terletak dekat sungai, dibangun dengan konsep terbuka, menggunakan bambu, dan dijaga beberapa ekor angsa. Budiman mengundang cendekiawan setempat, antara lain pendeta Broto Semedi, Stanley, dan beberapa mahasiswa lain untuk diskusi dengan rombongan Jakarta. Saya kebetulan ikut diundang.

Kami bicara santai, bersila, duduk dengan tikar. Arief Budiman memancing Iwan Fals untuk masuk ke dunia aktivis. “Seniman harus tahu politik,” katanya. Budiman cerita soal Victor Jara dari Chile, pendukung Presiden Salvador Allende, yang terbunuh ketika Jenderal Augusto Pinochet mengudeta pemerintahan sosialis Allende pada 1973. Budiman mengerti Chile dengan baik karena tesisnya di Universitas Harvard tentang kegagalan Allende memakai sosialisme. Victor Jara seorang pemusik popular mirip Fals. Lagu-lagu Jara penuh kritik sosial. Jara juga main gitar akustik. Jara mati bersama dengan Allende.

Saya punya kesan Iwan enggan atau malu menanggapi Budiman. Iwan lebih banyak diam. W.S. Rendra, teman lama Budiman, lebih banyak bicara dengan gayanya yang teatrikal. Rendra khusus memperkenalkan kami kepada Djody yang disebutnya sebagai seorang pengusaha-cum-seniman. Rendra mendominasi pembicaraan malam itu dengan sekali-sekali ditanggapi Djody, dan Sawung Jabo. Leila Ch. Budiman, istri Arief, jatuh hati pada Iwan yang disebutnya “anak manis.”

Salah satu isu sampingan yang mereka diskusikan adalah kejengkelan Rendra dan kawan-kawan terhadap industri rokok. Mereka jengkel pada industri ini—yang sering jadi sponsor utama konser-konser musik—karena seenaknya menempelkan pesan sponsor di panggung. Logo rokok dipasang di pusat panggung. Mereka memaki-maki industri rokok karena mengganggu estetika. Mereka mengatakan sulit untuk tak menerima sponsor rokok karena kontribusi mereka besar tapi jangan begitu caranya.

Ironisnya, mereka kurang tertarik mendiskusikan dampak rokok pada anak-anak muda penggemar mereka. Mungkin karena mereka sendiri perokok berat. Iwan juga perokok. Suratkabar-suratkabar setempat memberitakan protes ini. Diam-diam beberapa mahasiswa melihat para tamu Jakarta ini, bukan saja mengisap rokok, tapi juga ganja.

Saya tak mau menghakimi. Beberapa teman saya juga menggunakan ganja dan biasa-biasa saja. Saya kira isu ganja bukan soal benar atau salah. Ganja mirip dengan rokok. Ia tak mematikan. Ganja berbeda dengan obat-obatan kimiawi macam narkotik, esctasy, atau putauw yang bisa berakibat fatal kalau kelebihan.

Iwan mengakui memakai ganja sejak Palembang. “Habis gimana? Murah, bisa beli di mana-mana, enak?” Jabo tak mau berkomentar soal ganja. Dalam lingkungan Swami, mengisap ganja mendapat semacam legitimasi karena dianggap biasa. Djody dan Rendra juga saya lihat mencoba daun ganja yang dilinting kecil.

“Tadinya mau kayak (penyanyi reggae) Bob Marley, punya kebun ganja sendiri. Nyanyi, ganja, nyanyi, ganja. Tapi kan dilarang hukum, (dilarang) agama. Dalam hidup ini, orang yang nggak mabuk lebih banyak dari yang mabuk,” kata Iwan.

Kresnowati, seorang mahasiswa Satya Wacana dan kenalan Endi, ikut jadi panitia. Wati tak melihat ganja tapi terkejut menyaksikan awak Swami, termasuk Iwan, menggoda dan menjahili mahasiswi. “Ya … kok gini?” pikirnya.

Wati menghibur diri dengan berpendapat Iwan laki-laki biasa. “Manusia biasa yang punya talenta luar biasa.”

Menurut kawan-kawannya, periode ini cukup liar untuk Iwan Fals. Yos Rosana memutuskan pakai jilbab. “Dia bilang panggilan sebagai seorang muslim. Dia ingin memberikan contoh pada Iwan dan anak-anak untuk lebih ingat agama,” kata Fidiana, istri pemain kibor Iwang Noorsaid, pasangan yang berteman dengan keluarga Iwan. Yos juga agak khawatir pada pengaruh W.S. Rendra, orang yang dianggap guru oleh Iwan, tapi punya reputasi agak longgar dalam urusan perempuan. Rendra menikah tiga kali. Djody juga baru menikahi Sandi Harun. “Iwan kan good looking!” kata Wati.

Malam yang dinanti-nantikan pun datang. Swami main di Lapangan Pancasila Salatiga. Malam itu saya ikut menonton dan ikut bernyanyi, “Bento, bento, bento.” Saya merasakan adanya semangat perlawanan di sana dan bersyukur Indonesia punya musisi macam mereka. Endi mungkin warga Salatiga yang paling bahagia malam itu.


SAMBUTAN hangat membuat Swami plus Setiawan Djody tertarik maju lagi. Mereka mendirikan kelompok baru dengan nama Kantata Takwa. Perbedaan personalia Swami dan Kantata Takwa terletak pada W.S. Rendra dan Djody.

Djody jadi bos sekaligus pemain. Rendra memakai syair-syairnya, termasuk puisi "Kesaksian" yang terkenal itu, untuk dilagukan Kantata Takwa. “Rendra tidak sekadar membuat lirik, tapi lebih dari itu. Kadang dia sebagai alat kontrol pada proses kreatif kami. Rendra pulalah yang memberikan judul ‘Kantata Takwa.’ Rendra ikut memberi warna dan bentuk yang jelas pada Kantata Takwa. Terutama pada saat pementasannya,” kata Sawung Jabo.

Djody mengeluarkan uang tapi agak tersinggung kalau dianggap keberadaannya semata-mata karena duit. Pada 1990, Djody pernah mempersilakan saya datang ke rumahnya di daerah Kebagusan, Jakarta Timur, melihat latihan Kantata Takwa. Djody cerita masa lalunya di Solo ketika jadi gitaris sebuah kelompok musik rock. Orangnya flamboyan, rambutnya tersisir rapi, kulitnya bersih, pakaiannya bagus. Rumahnya besar sekali. Besar sekali. Ruang keluarga, yang menghadap kolam renang, diubah jadi tempat latihan band. Di sana ada lukisan Djody besar sekali. Saya menduga karya maestro Basuki Abdullah.

Djody cerita bisnisnya dengan Sigit Harjojudanto, putra sulung Soeharto, maupun Eka Widjaja dari kelompok Sinar Mas. Dia juga cerita pergaulannya dengan Jenderal Benny Moerdani, mungkin orang terkuat kedua di Indonesia sesudah Presiden Soeharto waktu itu. Moerdani dinilainya pintar dan tahu seni. Tak ada rasa takut dalam cerita Djody. Dia cerita isu yang agak pribadi tentang Moerdani. Bisnis adalah bisnis. Seni adalah seni. Djody mencintai keduanya.

Namun tak semua orang suka dengan kolaborasi ini. Beberapa penggemar Fals dan wartawan musik menilai periode ini keiwanfalsan Iwan menurun. Ada yang menilai Iwan lebih vulgar. Teori “pihak ketiga” lagi-lagi dipakai. Ada yang menyalahkan Sawung Jabo. Dulu lirik Iwan lebih puitis. “Setelah gabung dengan Jabo lebih keras, Jabo kan suka main hantam?” kata fotografer Idon Haryana, menirukan analisis wartawan tabloid Detak A.S. Laksana. Banyak juga yang curiga pada W.S. Rendra. Lebih banyak lagi yang curiga pada Djody.

Muhamad Ma’mun mengatakan, “Secara eksplisit saya sampaikan, ‘Saya nggak suka sama Mas Djody.’ Saya sampaikan pada Iwan. Sampai beberapa tahun, saya masih ngomong nggak suka. Saya nggak pernah sekali pun ketemu Djody. Diajak ketemu Djody tapi nggak mau.”

Menurut Sawung Jabo, kalau Djody diragukan integritasnya, Iwan pun tak mau membela atau menjelaskan, karena dia sendiri “tidak tahu.” “Intinya kami bersama telah berbuat sesuatu, silahkan masyarakat menilainya sendiri. Apakah yang kita kerjakan bersama itu ada gunanya atau tidak?”

Ma’mun menganggap musik Kantata Takwa, yang memakai koor, synthesizer, dan kecanggihan lain, tak cocok untuk Iwan. “Ini bukan kemajuan. Yang dikenal orang di gang-gang, di pasar-pasar, ya lagu-lagu yang dulu. Karya besar nggak harus yang susah dibawakannya.”

Ma’mun mengacu pada lagu-lagu Koes Plus dan The Beatles. Dia menyebut lagu Imagine karya John Lennon. Aransemennya sederhana tapi nilainya tinggi. Ma’mun berpendapat karya-karya abadi aransemennya sederhana dan mudah dimainkan orang.

Rekaman album Kantata Takwa jalan lancar. Menurut Jabo, Rendra terlibat mulai dari gagasan awal. “Saya baru terlibat masuk di pertengahan proses pembuatan materi lagu, sebelum dimulainya proses rekaman di Gin Studio.” Lagu andalan mereka berjudul Kantata Takwa yang dibuka dengan dzikir. Albumnya diedarkan awal 1990. Sampulnya bergambar Djody, Rendra, Iwan, Jabo, dan Jockie Suryoprayogo. Ada satu kalimat berbunyi, “Setiawan Djody mempersembahkan Kantata Takwa.” Ini menimbulkan kesan album ini “hanya” persembahan Djody—bukan Rendra, bukan Iwan, bukan Jabo, bukan Suryoprayogo. Saya kira pilihan ini kurang bijak.

Pertunjukan Kantata Takwa di stadiun Senayan pada 23 Juni 1990 termasuk salah satu konser musik terbesar yang pernah diadakan di Jakarta. Media memberi perkiraan yang berbeda-beda. Ada yang memperkirakan penontonnya 100 ribu orang tapi ada juga yang 150 ribu. Sulit untuk tahu mana yang lebih akurat karena metode perhitungannya tak jelas. Kapasitas stadiun Senayan sendiri sekitar 90 ribu.

Tapi berapa pun jumlahnya, penontonnya memang banyak sekali. Mereka memakai lampu laser, bom asap, sound system raksasa, panggung spektakular. Atmakusumah Astraatmadja, mantan redaktur pelaksana harian Indonesia Raya dan kini ketua Dewan Pers, termasuk salah satu penonton. Putra sulungnya seorang pemanjat tebing, yang ikut dalam tim yang bertugas menyelamatkan pemain Kantata Takwa bila terjadi kerusuhan. Mereka memasang tali-temali dan bisa meluncur ke tengah panggung bila ada keributan.

Astraatmadja gelisah melihat massa sebanyak itu. Lelaki tua, yang mendampingi empat remaja ini, masuk ke Senayan dengan bantuan polisi. “Itu sebuah perlawanan kultural, bukan saja oleh Iwan dan kawan-kawan, tapi juga para penonton,” kata Astraatmadja. Dia menilai perlu keberanian luar biasa untuk menyanyikan Bento.

Setiawan Djody, si pengusaha kapal tanker, tampil main gitar listrik, seraya memekik-mekik. “Saya heran kok berani-beraninya Setiawan Djody itu,” kata Astraatmadja.

Endi Aras mengatakan Djody membiayai semuanya Rp 1 miliar lebih. Ma’mun menanggapinya dengan lebih hati-hati. Iwan dianggap bergaul dengan orang-orang yang terlalu liberal untuk ukuran keluarganya. Selesai Kantata Takwa, Iwan melanjutkan Swami II yang beredar 1991. Album ini kurang sukses. Sambutan jauh lebih kecil dari Swami. “Saya sudah bilang pada Iwan, ‘Jangan kamu ulangi lagi,’” kata Ma’mun.

Endi Aras mulai masuk lingkaran kecil Iwan Fals pada 1994 ketika ia diminta jadi manajer Iwan. Tanggung jawab Endi serabutan dan dasarnya pertemanan. Kalau ada permintaan konser, Endi yang berhubungan dengan panitia, mengurus pembayaran, menyewa alat, dan sebagainya. Honor Iwan sekali pertunjukan Rp 6 juta. Endi tak menerima bayaran rutin. Kalau ada pekerjaan dia diberi “uang transport.”

Endi juga jadi manajer produksi album Hijau. Di sini Iwan memakai dua pemain kibor: Iwang Noorsaid dan Bagoes A.A. Mereka banyak diskusi agar album ini secara artistik bagus. Lagu-lagu tak diberi judul. Hanya Lagu 1, Lagu 2, Lagu 3, Lagu 4. Endi dan pemusik lain kurang setuju tapi semuanya kalah argumentasi dengan Iwan. “Biar agak lain saja,” kata Iwan.

Endi tambah stres karena produser Handoko dari Harpa Record dan Adi Nugroho dari Prosound bersaing membeli master album Hijau. Mereka tawar-menawar. Endi lapor ke Iwan soal tawar-menawar ini. Iwan malah tersinggung albumnya ditawar-tawar. “Wah Ndi, masternya dibakar saja,” kata Iwan. Gantian Endi yang jengkel karena merasa kurang dihargai. Endi dua hari sekali menemui Iwan, yang sudah pindah ke Cipanas, dua jam naik mobil dari Jakarta. Mereka akhirnya menerima harga Prosound Rp 365 juta termasuk sampul dan video clip. Endi mendapat Rp 10 juta dari anggaran Rp 65 juta untuk biaya produksi.

Sampul kaset dibikin disainer Dick Doang dominan hijau dengan menggunakan foto beberapa anak kecil bermain lompat-lompatan. Iwan tak mau namanya ditonjolkan. Dia tak mau sampul ada fotonya. Menurut Endi, Iwan berpendapat status mereka sama, delapan orang pemusik. Iwan mau nama Iwang Noorsaid, Bagoes A.A., Cok Rampal, Jalu, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Jerry Soedianto, dan Iwan Fals dicetak semuanya pada sampul. Dick Doang, juga seorang penggemar Iwan, setuju usul itu. Konsekuensinya, nama-nama musisi dicetak dengan font kecil. Endi kurang setuju dan khawatir kasetnya kurang laku.

Saya tanya pada Endi, kalau Iwan mau setara, bagaimana pembagian honornya? Endi tersenyum dan bilang Iwan “curang” karena honor musisi Rp 300 juta dibagi dua: 40 persen Iwan dan 60 persen tujuh musisi sisanya. Artinya, Iwan dapat Rp 120 juta sedang lainnya rata-rata dapat Rp 25 juta.

Selama mengerjakan Hijau, Iwan berhenti mengganja, berhenti merokok, dan mulai salat. Hari-hari di Cipanas dipakai untuk “rehabilitasi.” Iwan tahu membuatnya tak bisa “panjang nyanyiannya.” Tubuhnya bentol-bentol, emosinya labil. Endi mengatakan ini periode “komunitas bersih” karena beberapa pemain, termasuk Noorsaid dan Heiri Buchaeri, rajin salat dan hidupnya sederhana. Kresnowati mengatakan ada juga musisi Hijau yang “pemakai berat ganja.”

Perubahan Iwan juga mengubah Karno, asistennya yang setia, yang biasa membantu Iwan untuk urusan pribadi, mulai mengatur instrumen musik hingga menyiapkan lintingan ganja. “Karno lebih seniman dari Iwan. Dia nggak menikah, mungkin karena nggak dapat-dapat, dan penggemar Iwan,” kata Wati.

Hijau diluncurkan 1992. Tak terlalu meledak di pasar. Endi kecewa, merasa kurang dihargai. Endi mundur dari pekerjaannya. “Endi punya kekaguman yang sangat pada Iwan. Tapi juga kekecewaan. Ngatur dia itu ruwet,” kata Kresnowati.


KETIKA Galang lahir pada 1 Januari 1982 si bapak, yang perasaannya campur-aduk karena pertama kali merasakan diri jadi ayah—merasa harus bertanggung jawab, merasa mencintai, heran, bahagia, bangga punya keturunan dan sebagainya—menciptakan lagu berjudul Galang Rambu Anarki. Lagunya cukup terkenal dan masuk album Opini (1982).

Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.

Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk. Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari Jakarta ke Pulau Bali!

Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”

“Terus maunya apa?”

Embuh, main musik atau buka bengkel.”

Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.

Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.

Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”

“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.

Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.

Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.

Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak memakai obat-obatan.

“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.

Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang telepon-teleponan.

Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.

Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata Ma’mun.

Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.

Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.

Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad Galang),” kata Endi.

Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ... Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.

Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan baik.

“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.

Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.

Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”

Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.

Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini kuburannya,” kata Harun.

Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.

Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”

Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol diri.

Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.

September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.

Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”

Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain ceritanya.”

“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”

Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.

“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani … rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak, "Hoooooooaaaaah ...."

Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa lagi.”


ROLLY Muarif termasuk satu dari sekian orang yang sering menemani Iwan Fals pasca-kematian Galang. Rolly adalah seorang musikus kelahiran Gorontalo, pernah menghibur penumpang kapal Kambuna jurusan Manado-Jakarta. Kalau menganggur, Rolly menjaga toko spare part di Kranggan, dekat Leuwinanggung.

Iwan sering mengundang Rolly ke Leuwinanggung. Iwan suka melukis dan mengobrol dekat makam Galang. “Sering curhat sama saya soal Galang karena cuma ada saya doang,” kata Rolly. Dia juga menemani Iwan main catur dan mengobrol hingga subuh. Suatu saat Iwan bilang, “Kalau untuk anak (kehilangan) ke orang tua, bisa dimaklumi, tapi kalau orang tua ke anak, itu berat.”

“Saya memahami saja,” kata Rolly pada saya.

Iwan banyak melukis, kadang-kadang di rumah Leuwinanggung, lukisannya dipajang, dilihat dari jauh. Rekaman album baru ditunda sejak kematian Galang. “Saya disuruh memandang, kadang dibalik,” kata Harun Zakaria, tetangga Iwan, yang juga sering mengobrol pasca-kematian Galang. Iwan juga memenuhi undangan dari masyarakat Leuwinanggung, acara jaipongan, kematian, pengajian, kenduri, perkawinan, salawatan. “Ke mana-mana ajak saya,” kata Harun.

Iwan juga bermain sepak bola dan membayar seorang pelatih untuk melatih anak-anak Leuwinanggung. Harun cerita Iwan menyumbang renovasi mushola dekat rumah mereka, “Karpetnya disumbang Kak Iwan.” Iwan juga melatih karate. Dia membuka dojo dan pesertanya sampai 200 orang. “Saya latih sendiri,” katanya.

Ketika krisis moneter menghantam ekonomi Indonesia, Iwan Fals sempat mencoba bikin lagu untuk menggugah semangat orang berusaha. Karya ini terhenti ketika demonstrasi-demonstrasi anti-Soeharto makin keras. Pada Mei 1998, Soeharto mundur dari kekuasaannya dan Indonesia memasuki era demokratisasi. Perubahan besar-besaran di ambang pintu. Iwan pun melihat saatnya ia mengambil langkah baru.

Iwan Fals melihat banyak penggemarnya kurang punya dasar ekonomi yang kuat. Iwan ingin “memberdayakan” mereka. Iwan pun mendirikan Yayasan Orang Indonesia dan minta Ma’mun jadi wakil ketua, Endi sekretaris, Yos bendahara, dan dia sendiri ketua.

Ini ternyata tak cukup. Iwan ingin melibatkan para penggemarnya langsung. Ide ini dibicarakan dengan Ma’mun, Yos, dan Endi. Hasilnya, mereka sepakat mengundang para penggemar Fals, lewat ke Leuwinanggung selama tiga hari pada pertengahan Agustus 1999.

Kresnowati diminta mengorganisasikan pertemuan itu. Lapangan belakang rumah Iwan ditutup pasir, dibangun tenda besar 600 meter persegi untuk tidur, dibelikan nasi bungkus, dan dicarikan sponsor perusahaan air mineral. Iwan minta tukang membangun 20 kamar mandi.

Ternyata sambutannya besar. Penggemar Iwan dari banyak golongan datang. Ada pencuri, ada bandar narkotik, karyawan biasa, bapak yang sepuh, perempuan tomboy, juga wanita berjilbab. Ada juga yang penampilannya “punk rock abis” dan bikin Wati deg-degan. “Di luar pagar juga banyak yang menunggu mau masuk. Maunya ketemu Iwan, berfoto bersama,” kata Wati.

Ketika diskusi, kualitas mereka kelihatan beragam. Ada yang berapi-api tapi banyak yang asal omong. Antusiasme ini mengejutkan karena Iwan lama tak muncul ke publik. Album terakhirnya keluar 1993.

Wati juga geli melihat tato pada penggemar Fals. Banyak yang punggungnya digambari Iwan. Ada pula tato jidat, daerah antara alis mata, ditato kata “Fals.” Dari Bandung sekelompok penggemar menato kata “Fals” di antara jempol dan jari telunjuk. “Kalau Fals pasti Iwan Fals. Kalau Iwan kan banyak,” kata Ainun Rofiq, manajer restoran cepat saji McDonald yang jadi bendahara Oi.

Semalam sebelum pertemuan, Iwan, Yos, Ma’mun, Endi, dan Wati diskusi. Intinya, mereka mau serahkan kepengurusan Oi kepada orang-orang baru itu atau mereka pegang sendiri? Mereka sepakat dipegang sendiri dulu. Kalau sudah jalan diserahkan pada orang banyak.

“Saya nggak mau kalau ketua. Konsekuensinya berat. Endi juga nggak mau. Sampai pulang nggak jelas. Ma’mun nggak mau juga. Ma’mun ingin Iwan jadi ketua. Endi nggak mau (alasannya) ini khan fans club. Endi keukeuh (harus) Wati,” kata Kresnowati.

Keesokan hari Kresnowati terpilih sebagai ketua Oi. Menurut Digo Zulkifli, penggemar asal Bandung, pada pertemuan tiga hari itu mereka diskusi: mau jadi fans club atau organisasi massa. “Kalau jadi fans club, idolanya sendiri, si bosnya (Iwan Fals) nggak enak.” Mereka memutuskan jadi organisasi massa.

Wati pada tahun pertama lebih meletakkan dasar administrasi. Mereka bikin kartu anggota, membuka cabang, dan membuat arsip. “Nggak mudah mengatur 10.000-an orang di seluruh Indonesia.” Kini Oi diketuai Heri Yunarsa, seorang pegawai negeri dari Serang.

Hambatan banyak. Wati melihat orientasi penggemar Fals masih kabur antara organisasi massa dan klub. Banyak yang masuk Oi untuk “cium tangan” Iwan. “Kayak ketemu raja … apalagi daerah lho ... kita jadi bingung ngeliatnya,” kata Wati. Masalah dana juga hambatan. Iwan mungkin orang kaya tapi mendanai organisasi butuh uang besar sekali.

Entah apa yang akan terjadi kalau Iwan suatu saat jadi kurang populer atau makin mengendurkan musiknya? Bagaimana bila Iwan meninggal? Sejauh mana Oi bisa bertahan kalau didasarkan ikatan emosional pada lagu-lagu lama Iwan Fals? Bagaimana mengubah loyalitas individu jadi loyalitas organisasi? Bagaimana Oi bisa “memberdayakan” anggotanya?

Saya ingat Elvis Presley, bintang musik pop Amerika 1960-an, yang mengatakan, “Music is like religion: when you experience them both, it should move you.” Menurut Sun Record, album Presley terjual lebih dari satu milyar selama masa hidupnya (Love Me Tender, It’s Now Or Never atau Are You Lonesome Tonight).

Musik Fals juga menggerakkan banyak orang di Indonesia. Fals dianggap mampu merekam semangat perlawanan orang-orang yang dipinggirkan pada masa Orde Baru. Ketika Presley meninggal, lagu-lagunya malah jadi abadi. Makam dan rumahnya ramai dikunjungi orang. Lagu-lagunya terus direkam ulang dan jadi tambang emas untuk ahli warisnya. Akankah Fals mengikuti jejak Presley? Apakah musik Fals sudah mirip pengalaman beragama?

Iwan sudah pernah memikirkan ini. “Ada saya atau tak ada saya, saya hadir di Oi,” kata Digo Zulkifli menirukan Fals.

Oi kini punya perwakilan di berbagai kota Indonesia. Ini organisasi unik tanpa preseden. Kantor-kantor perwakilannya juga unik. Di Cilegon ia nongkrong di kantor pemerintahan kabupaten. Di Tangerang berkantor di tukang jagal. Banyak juga yang berada di gang-gang sempit. Agus Suprapto dari Oi Yogyakarta mengatakan mereka mendapat bantuan dari Sultan Hamengku Buwono X.

Gema Fals juga tembus hingga Timor Lorosa’e. Hugo Fernandes, redaktur majalah Talitakum, memberitahu saya bahwa panitia kemerdekaan Timor Lorosa’e mengundang Iwan Fals ke Dili ketika negara itu hendak menyatakan merdeka 20 Mei lalu. “Semua orang Dili tunggu Iwan Fals mau datang. Orang kecewa karena Iwan tidak datang. Di Dili, dia itu kayak dewa.”

Tampaknya negara kecil yang punya luka tersendiri karena pendudukan Indonesia ini—sering dikatakan sepertiga penduduknya mati karena terbunuh atau kelaparan akibat 22 tahun pendudukan tentara Indonesia—punya banyak orang yang justru merasa ketertindasan mereka diwakili dan disuarakan Iwan Fals.


SESUDAH lama tak berkarya, Iwan Fals mengalami hambatan bikin album baru. Effendy Widjaja, salah seorang direktur Musica, membantu Fals mengatasinya. “A Pen yang mendobrak. Saya harus bikin lagu katanya. ‘Jangan loyo dong!’ Dia mrepet (mengomel),” kata Iwan.

“Akhirnya saya bangkit, minjam duit. Dia pilih dari 300 lagu, dia tandai. Dia pandai, pilihannya saya lihat masih dalam bingkai saya.”

A Pen, nama panggilan Effendy, berunding dengan kakaknya, Sendjaja Widjaja atau A Ciu, presiden direktur Musica, dan Iwan pun diberi pinjaman uang. Mereka tak menyebut berapa pinjamannya. Musica hanya bersedia menjawab pertanyaan saya secara tertulis.

Saya memperkirakan pinjaman ini diperlukan Iwan dan Yos, selaku pemimpin Manajemen Iwan Fals, untuk membiayai “jadwal-jadwal” pemakaian studio untuk latihan, rekaman, dan sebagainya. Kalau biaya sewa studio dihitung Rp 500 ribu sekali pakai, Iwan mengatakan pada saya, ia memakai 720 kali jadwal untuk membuat album yang dinamai Suara Hati. Artinya, Iwan membutuhkan sekitar Rp 360 juta untuk membiayai jadwal rekamannya. Manajemen Iwan Fals memakai pinjaman Musica itu untuk membangun sebuah studio. Iwan lantas menyewa studio itu kepada Manajemen Iwan Fals. Agak rumit memang. Iwan berhitung bisnis dengan istrinya sendiri.

Bagaimana membayar Musica? Iwan menerangkan bahwa royalti sebuah kaset Rp 2.000. Kalau Suara Hati laku, katakanlah 150 ribu, berarti ia mendapat Rp 300 juta. Royalti ini dipakai membayar piutang Musica. “Dari segi ekonomi saya rugi. Saya nggak dapat apa-apa dari Musica. Saya hanya mengharapkan dari royalti ... kaset itu seumur hidup ya,” katanya.

Iwan memanfaatkan teman-teman lama—Inisisri, Nanoe, Iwang Noorsaid, dan Maman Piul (pemain biola)—untuk mengerjakan Suara Hati. Kesulitan terbesar muncul dari komputer. Iwan menggunakan komputer mutakhir Apple Macintosh G4 dalam studio barunya. “Saya nggak pakai operator karena nggak bisa bayar,” kata Iwan. “Saya juga mau belajar komputer.” Iwan tak memahami kerja Macintosh dengan rapi. Dampaknya, ada rekaman-rekaman yang hilang.

Khusus memilih pemain gitar prosesnya berbeda. Suatu hari Endi Aras mengajak Digo Zulkifli, gitaris asal Bandung yang juga penggemar Fals, berkunjung ke Leuwinanggung. Digo membantu Endi di Matamata Communications sesudah kenal saat pembentukan Oi. Hari itu Digo menemui Iwan di studio. Kebetulan Iwan lagi butuh orang mengisi gitar listrik. Di studio, menurut Digo, ia ditanya Iwan, “Digo kamu main elektrik?”

“Ya”

“Coba deh ini di album baru.”

“Saya minta waktu dan ruangnya saja,” kata Digo.

Iwan mempersilakan tapi mengingatkan Digo bahwa proposal Digo belum tentu diterima. Digo bersedia. Digo menduga Manajemen Iwan Fals masih mempertimbangkan gitaris kawakan Ian Antono, I Gede Dewa Bujana, dan Totok Tewel untuk mengisi gitar. Ketiga gitaris itu kenal Iwan. Ian Antono juga menata musik album Mata Dewa. Pilihan ternyata jatuh pada Digo Zulkifli.

Digo pun ikut rekaman bersama Inisisri, Nanoe, Noorsaid, dan Iwan. Ketika rekaman rusak, Iwan merasa sungkan minta kembali Nanoe, Noorsaid, dan Inisisri. “Nggak enak,” katanya. Digo dengan mudah dimintanya ikut rekaman ulang. Iwan pun membentuk band baru untuk mengisi sebagian rekaman yang hilang. Iwan mengajak Edi Edot (bass), Ayub Suparman (kibor), dan Danny Kurniawan (drum).

Belakangan ternyata ada rekaman lama yang ditemukan lagi. Dalam album Suara Hati, lagu Hadapi Saja muncul dua kali. Dua lagu, dua band, satu penyanyi, satu album. Kontribusi Noorsaid ada pada lima dari 12 lagu di sana.

Endi Aras melihat adanya dua band ini dengan kritis. “Iwan gampang meninggalkan kawan-kawannya. Grup yang sekarang ini dari penggemar dia semua. Itu dari Oi semua,” kata Endi, seakan-akan hendak mengatakan Fals sekarang dikelilingi orang yang relatif kurang setara kemampuannya dengan Iwan. Tak ada lagi Sawung Jabo, Inisisri, Ian Antono atau Jalu, Cok Rampal, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Iwang Noorsaid. Nanoe bahkan meninggal ketika Suara Hati belum sempat diluncurkan.

Padahal tantangan Iwan makin besar. Naik ke puncak tangga sangat sulit tapi mempertahankannya lebih sulit lagi. Umur juga bertambah. Iwan juga harus mengikuti selera penggemar yang lebih muda. “Kalau Iwan mau panjang, orang-orangnya harus profesional. Posisi manajer di situ bisa lemah karena istri sendiri. Iwan nggak bisa di-manage karena egonya sangat besar. Yos bingung juga,” kata Endi.

Suara Hati diluncurkan awal tahun ini. Tempo menyebut album ini lagu-lagunya bagus tapi aransemennya lemah. Hai memuji setinggi langit. Sambutan publik cukup baik. Keberadaan Oi tampaknya membantu pemasaran kaset Fals. Anggota-anggota Oi adalah penggemar fanatik Iwan. Manajemen Iwan Fals menyambung peluncuran album itu dengan konser Satu Hati Satu Rasa sekitar 40 kota, antara Maret hingga Agustus lalu.

Suasana Indonesia berbeda sekali antara konser Satu Hati Satu Rasa dan Mata Dewa. Pada 1989 hambatan Mata Dewa terletak pada polisi. Konsernya dilarang di Palembang. Kini demokratisasi mulai terasa di berbagai institusi negara, termasuk polisi, sehingga tur Satu Hati Satu Rasa tahun ini berjalan lancar. Tak ada larangan walau Manajemen Iwan Fals sempat memundurkan beberapa jadwal konser karena ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Agustus lalu. Alasannya, tenaga polisi dikerahkan mengatasi massa politik.

Iwan Fals bukan saja tampil di kota besar macam Jakarta dan Surabaya, tapi juga kota menengah macam Cilegon, Sukabumi, Kuningan, Bandar Lampung, Magelang, Mataram, dan sebagainya. Dari laporan suratkabar, jumlah penonton berkisar 5.000 hingga 15.000 orang. Tak sebesar konser Kantata Takwa dengan 100 ribu penonton tapi harus diingat bahwa konser kali ini jumlah kotanya benar-benar banyak.

Menurut Sendjaja Widjaja, hingga 25 Agustus lalu kaset Suara Hati sudah terjual 160 ribu. Ini lumayan untuk ukuran Musica walau belum selaris band remaja Sheila on 7 dari PT Sony Music Indonesia yang penjualan album tunggalnya bisa tembus satu juta keping.

Menurut Sendjaja, penjualan album Fals paling laris adalah Tembang Cinta (1993) sebanyak 535 ribu dan Best of the Best Iwan Fals sebanyak 466 ribu. Keduanya album kompilasi atau campuran. Best of the Best diedarkan tahun 2000 dan sampai sekarang masih termasuk album-album terlaris Musica.

Endi Aras mengatakan lagu Hadapi Saja disukai Iwan. Album ini mengingatkan pendengar pada kematian Galang Rambu Anarki. Ini juga mengingatkan saya pada penghormatan Eric Clapton kepada anaknya, Conor, dengan lagu Tears in Heaven. Conor masih berumur 4,5 tahun ketika jatuh dari lantai 56 apartemen Clapton di New York pada 1991. Clapton juga tertekan karena kematian Conor.

Aransemen Hadapi Saja meyayat hati. Permainan biolanya mengalun. Liriknya juga kuat. Saya kira kematian anak-anak mereka jadi dorongan besar bagi Clapton dan Fals untuk menciptakan karya yang ekspresif.

relakan yang terjadi dia takkan kembali
ia sudah jadi milik-Nya bukan milik kita lagi
tak perlu menangis
tak perlu bersedih
tak perlu sedu sedan itu
hadapi saja
hilang memang hilang
wajahnya terus terbayang
jumpa di mimpi
kau ajak aku untuk menari, bernyanyi
bersama bidadari, malaikat, dan penghuni surga


Endi Aras juga cerita proses pembuatan lagu 15 Juli 1996. Pada 15 Juli 1996 Endi menemani Iwan Fals pergi ke tempat Megawati Soekarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia, yang kedudukannya sedang digoyang tukang pukul dan centeng Soeharto. Iwan tak bertemu Megawati, hanya lihat dari jauh, tapi simpatinya muncul. Dua minggu setelah kedatangan Iwan, para tukang pukul itu menyerbu markas Megawati, menggusur para pendukung Megawati dengan kekerasan, dan memicu pergolakan Jakarta yang dikenang sebagai Peristiwa 27 Juli 1996.

Tapi kritik dari masalah rokok masih muncul. Kritik ini kali ini bukan datang dari Rendra, namun dari Santi W.E. Soekanto, wartawan The Jakarta Post, yang menulis bahwa sponsor utama Iwan Fals adalah rokok A Mild dari Sampoerna. “Inilah hal yang sama sekali tak dibutuhkan Indonesia: pahlawan yang memperkenalkan ‘pintu masuk’ pemakaian narkotika dan obat-obatan keras.”

Soekanto mengutip data World Health Organization yang mengatakan ada 1,1 miliar perokok di dunia. Jumlah ini akan meningkat hingga 1,6 miliar pada 2025. Di negara-negara kaya, jumlah perokok menurun, tapi jumlahnya meningkat di negara-negara miskin. Indonesia negara miskin bukan?

Departemen Kesehatan melaporkan 6,5 juta orang Indonesia tiap tahun terkena penyakit akibat kebiasaan merokok dan 57 ribu di antaranya meninggal dunia (kebanyakan laki-laki). Kebiasaan merokok membuat pemerintah kehilangan banyak sumber daya karena membiayai kerusakan-kerusakan akibat rokok.

Di negara-negara kaya kampanye antirokok berjalan kencang. Federation of Football Association (FIFA) November lalu menandatangani perjanjian dengan WHO melarang sponsor rokok di lapangan sepak bola. FIFA sengaja menyamakan pembukaan Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang 31 Mei lalu dengan hari antirokok sedunia. MTV mendukung kampanye antirokok dengan memasang iklan para penyanyi yang menganjurkan remaja tak merokok. Di Amerika Serikat para penyanyi besar mendukung kampanye antirokok.

Industri rokok melawan kampanye ini lewat iklan dan promosi besar-besaran, terutama di negara-negara berkembang, baik lewat sponsor olahraga maupun musik. Iklan mereka menipu para remaja dengan kesan palsu bahwa rokok membuat mereka terlihat gagah dan dewasa. Rokok diidentikkan dengan olahragawan dan musisi ternama.

Ini dilawan. WHO di Indonesia memilih juara tenis Angelique Widjaja, binaragawan Ade Rai, dan peragawati Tracy Trinita untuk mendukung kampanye antirokok. “Sayangnya, tak terlalu banyak anak muda yang melihat Angie, Ade, atau Tracy. Para aktivis antirokok memerlukan senjata yang lebih besar. Seseorang dengan kaliber Iwan Fals,” kata Santi Soekanto.

Kolom ini mengingatkan saya pada diskusi Salatiga 12 tahun lalu. Dalam 12 tahun ini Iwan melihat Galang ikut-ikutan papanya merokok lantas mencoba obat-obatan hingga meninggal. Kehidupan pribadi Iwan memang berubah banyak. Titin Fatimah, sekretaris Manajemen Iwan Fals, mengatakan pada saya ketika ia mulai bekerja tiga tahun lalu, Iwan Fals sudah tak merokok.

“Suatu kenyataan hanya rokok yang bisa mengeluarkan dana cukup besar untuk pertunjukan musik. Dulu kalau pertunjukan indoor, banyak penonton yang tak bisa nonton. Kami memutuskan outdoor dan biaya produksinya besar. Hanya rokok yang bisa membiayainya,” kata Yos Rosana.

Fals sempat bilang dia mungkin bisa merokok lagi dengan tur sponsor rokok. Yos mengatakan lebih baik tidak tur bila Iwan Fals kembali merokok. “Mendingan nggak usah main,” kata Yos. “Saya juga nggak suka rokok itu. Saya tahu itu ndak baik. Ini buah simalakama,” kata Yos.

Henny Susanto dari Sampoerna, menerangkan kepada saya bahwa A Mild menghormati kontrak itu. Mereka mensponsori Iwan Fals karena penggemar Fals “sangat sesuai” dengan pangsa pasar A Mild.

Penjelasan Titin, Yos, dan Henny Susanto senada dengan materi diskusi Salatiga. Rokok dianggap menganggu estetika tapi bukan kesehatan. Saya sulit menyalahkan Iwan kalau ia belum berani menolak sponsor rokok karena kontribusinya sangat besar. Tanpa rokok mungkin tak ada konser.

Apa yang didapat Sampoerna? Henny Susanto menjawab, “Kesempatan untuk berkomunikasi dengan target market, baik yang datang ke pertunjukan maupun yang sekedar melihat publikasi yang kita lakukan.”

Kalau saya boleh menterjemahkan kata-kata Henny Susanto, A Mild merasa gembira dengan kerja sama ini. Para penggemar Iwan Fals, katakanlah orang semacam Fajar Wijaya, si pengamen bertopi merah itu, adalah pangsa pasar A Mild. Sedih juga mengetahui Iwan Fals ikut mendorong anak-anak muda merokok.

Kehidupan bukan sesuatu yang sederhana. Kehidupan sering penuh kompromi. Senja September itu, ketika saya meninggalkan Leuwinanggung, pikiran saya penuh dengan gejolak tentang Iwan Fals. Dia dipuja, disukai, dan dianggap manusia super, tapi ia juga mungkin kesulitan memenuhi harapan orang banyak yang menganggapnya bisa mewakili dan menolong mereka.
***